Kanker Ovarium sering dijuluki “silent killer”. Alasannya sederhana yaitu karena gejalanya samar, mirip gangguan pencernaan biasa, sehingga banyak perempuan baru menyadari ketika penyakit sudah berada di stadium lanjut. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2024 menyatakan jika kanker ovarium (Carcinoma ovarium) adalah jenis tumor yang berasal dari sel-sel ovarium yang bersifat ganas dan abnormal serta dapat menyerang bagian tubuh dan menyebar ke organ lain. Kanker ovarium adalah kanker ginekologi yang paling mematikan sebab pada umumnya baru bisa dideteksi ketika sudah parah. Selain itu, ada beberapa gejala yang sering diabaikan dan juga dianggap sepele seperti nyeri perut atau panggul, perut kembung atau membesar, cepat kenyang atau kehilangan nafsu makan, sering buang air kecil, gejala tambahan bisa berupa penurunan berat badan, perdarahan vagina, mual, atau sesak napas.

Ovarium adalah salah satu benda penting yang mengatur koordinasi reproduksi. Namun, ketika terjadi gangguan seperti ovulasi tak terhentikan, peradangan kronis, atau paparan zat berbahaya, harmoni itu akan mulai terganggu. Mutasi genetik mulai muncul, dan perlahan-lahan terbentuklah kanker ovarium. Kanker kadang terjadi tanpa didahului gejala berarti. Meski penyebab pasti kanker ovarium belum jelas, dalam penelitian Momenti Movahed pada tahun 2019 menunjukkan beberapa faktor yang dapat meningkatkan resikonya, seperti usia risiko meningkat setelah menopause, ovulasi berulang (menarche dini, menopause lambat, atau tidak pernah hamil membuat ovarium lebih sering “bekerja” sehingga rawan mutasi), endometriosis & radang panggul (peradangan kronis memicu kerusakan DNA), gaya hidup (obesitas, merokok, dan diet tinggi lemak jenuh memperbesar risiko), akses kesehatan (perempuan dengan status sosial ekonomi rendah sering terlambat terdiagnosis).

Sifat kanker ovarium yang susah dikenali kini memerlukan kesadaran dari diri sendiri dan untuk masyarakat. Pemberdayaan melalui edukasi, penerapan gaya hidup sehat, dan melakukan pemeriksaan dini adalah senjata utama melawan silent killer ini. Langkah pencegahan dapat dilakukan dalam tiga lapis yaitu primer (edukasi, gaya hidup sehat, mengurangi faktor risiko), sekunder (mengenali gejala sejak dini dan segera memeriksakan diri), tersier (rujukan cepat ke layanan onkologi untuk penanganan tepat). Di Indonesia, banyak kasus baru terdeteksi pada kondisi yang sudah berat karena gejalanya sering diabaikan. Padahal pemeriksaan sederhana seperti USG panggul atau konsultasi rutin ke dokter kandungan dapat membantu menemukan kelainan sejak awal sebelum berkembang menjadi kanker.

Selain itu, peran sosial memiliki kontribusi penting sebagai support system bagi perempuan dengan kanker ovarium. Dukungan ini dapat berasal dari berbagai pihak. Keluarga memberikan dorongan emosional melalui semangat, pendampingan selama proses pengobatan, serta membantu menurunkan kecemasan. Tenaga kesehatan, khususnya perawat, berperan dalam mengelola nyeri, memberikan edukasi mengenai perawatan mandiri, memfasilitasi koordinasi terapi, dan memastikan kontinuitas layanan. Komunitas atau kelompok pendukung pasien juga memberikan manfaat besar dengan menciptakan rasa kebersamaan, berbagi pengalaman, memperkuat motivasi, serta membuka akses terhadap informasi dan layanan kesehatan yang relevan.

Kanker ovarium memang sering muncul tanpa gejala yang jelas, tetapi kita bisa memilih untuk tidak tinggal diam. Dengan mengenali tanda-tanda awal, menjaga gaya hidup sehat, dan memperkuat jejaring dukungan sosial, kita dapat membantu mematahkan julukan “silent killer” dan memberikan harapan baru bagi banyak perempuan. Langkah-langkah kecil seperti pemeriksaan rutin, berbagi informasi kesehatan yang akurat serta keberanian untuk mencari pertolongan ketika ada perubahan pada tubuh dapat membuat perbedaan besar.

 

Penulis : Refi Marshanda
Editor : Alina Ramadani (Airlangga Nursing Journalist)

Hits 20