Apakah DBD Bisa Diketahui dari Tanda Demam Saja?

2020-01-03 05:57:19


Isu tentang wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) tentunya sangat mengkhawatirkan, apalagi menjelang dan selama musim hujan berlangsung. Bagaimana tidak, laporan kejadian pada bulan Januari 2019 lalu, angka kesakitan dan kematiannya melonjak tajam bila dibandingkan dengan laporan tahun sebelumnya.

Kementerian Kesehatan RI (2019) merilis rekapan laporan dari 34 provinsi, dilaporkan jumlah penderita DBD sebanyak 13.683 dengan 132 kasus diantaranya meninggal dunia. Beberapa daerah melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD diantaranya Kota Manado (Sulawesi Utara) dan 7 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada saat yang sama, wilayah kita Jawa Timur menempati urutan pertama dari sisi angka kesakitan maupun kematian di seluruh Indonesia. Dilaporkan terdapat 2.657 orang yang terjangkit DBD, dan 47 orang dari jumlah tersebut telah meninggal dunia (Jawapos.com, 2019).

Ketika suatu persoalan memberi dampak fatal hingga mengorbankan nyawa manusia, maka perhatian khusus dari semua pihak menjadi sangat penting untuk mengatasinya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah dan menangani kejadian, namun tidak semuanya berjalan sesuai harapan. Banyak faktor yang menjadi kendala dalam proses pencegahan hingga penanganan kejadian DBD.

Secara umum, -beradasarkan sebuah studi yang menyelidiki penyebab penderita DBD sampai meninggal dunia-,  faktor-faktor yang bertanggungjawab terhadap persoalan tersebut dikelompokan dalam tiga dimensi utama. Dimensi individu dipengaruhi oleh usia, etnis, pendidikan, jenis infeksi dan status imunologi. Dimensi sosial menyangkut status kemiskinan dan perilaku mencari perawatan. Dan dimensi sistem kesehatan mencakup akses, peluang, dan kualitas perawatan, serta pengetahuan staf kesehatan (Carabali, Hernandez, Arauz, Villar, & Ridde, 2015).

Dari berbagai faktor tersebut, dalam tulisan ini, penulis lebih fokus membahas salah satu faktor dari dimensi sosial, yaitu menyangkut perilaku mencari perawatan. Kesadaran seseorang terhadap suatu ancaman penyakit, serta kecepatan dan ketepatan mencari pertolongan atau perawatan menjadi salah satu kunci kesuksesan menghadapi berbagai serangan penyakit, termasuk untuk masalah DBD.

Bila gejala DBD bisa disadari lebih dini, kemudian mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, sejatinya penyakit tersebut tidak begitu membahayakan. Sebagaimana penyakit yang disebabkan oleh virus, DBD tidak memiliki obat khusus. Penangangannya hanya bersifat mendukung seseorang untuk mengatasi gejalanya, hingga tubuhnya sendiri berhasil membentuk antibodi yang bisa menghentikan aktivitas virus tersebut dalam tubuhnya.

Penelitian telah membuktikan, diagnosis dini atau rawat inap untuk mendapat perawatan suportif bisa mengurangi angka kematian dari 13,75% menjadi 0,17%, terutama dengan mencegah dehidrasi (kekurangan cairan tubuh akibat demam), mengurangi demam, dan memonitor sirkulasi untuk perdarahan dan permeabilitas pembuluh darah (Garcia, Chismark, & Eggert, 2015).

Coba bayangkan persentase tersebut di atas, penurunanya sangat berarti. Berbagai laporan kejadian meninggal dunia akibat DBD di Indonesia juga kurang lebih sama, rata-rata disebabkan terlambat mendapatkan penanganan ke fasilitas kesehatan yang memadai. Andai saja bisa ditangani lebih dini, semuanya jadi mudah, kan?

Karakteristik dan Klasifikasi DBD

Supaya kita bisa membuat keputusan yang tepat untuk mencari perawatan, maka syarat utama yang harus dipunyai adalah kemampuan untuk mengenal tanda dan gejala awal seseorang yang terinfeksi virus dengue.

WHO telah dua kali merumuskan klasifikasi DBD berdasarkan karakteristik atau tanda dan gejala yang muncul pada penderita. Pertama kali diluncurkan pada tahun 1960, kemudian edisi teranyar yang menjadi pedoman saat ini direvisi pada tahun 2009 (Garcia et al., 2015).

Kriteria yang diperbarui mengklasifikasikan virus dengue dalam tiga kriteria: demam berdarah tanpa tanda peringatan (demam berdarah/Dengue Fever); demam berdarah dengan tanda-tanda peringatan (demam berdarah dengue/Dengue Hemorrhagic Fever ); dan demam berdarah yang parah (sindrom syok dengue/Dengue Syok Syndrome).

Pedoman saat ini menyarankan pengujian laboratorium untuk virus dengue dengan adanya demam dan setidaknya dua gejala lainnya, di antaranya mual, muntah, ruam (bintil-bintil merah di kulit), sakit dan nyeri, tes tourniquet positif, leukopenia, atau adanya tanda peringatan seperti sakit perut; muntah terus-menerus; akumulasi cairan klinis; mukosa berdarah; kelesuan; pembesaran hati> 2 cm; atau peningkatan hematokrit dengan penurunan jumlah trombosit.

Sindrom syok dengue terjadi ketika semua kriteria untuk demam berdarah terpenuhi dan peningkatan permeabilitas vaskular (keluarnya plasma darah dari pembuluh darah) menyebabkan syok hipovolemik (peredaran darah ke seluruh tubuh berkurang). Anak-anak paling rentan terhadap sindrom syok dengue, yang mengakibatkan peningkatan angka kematian pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.

WHO (2009) meringkas masalah klinis yang sering timbul pada penderita DBD berdasarkan fase penyakitnya. Pada fase demam, masalah klinis yang harus diwaspadai meliputi dehidrasi, serta demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologis dan kejang demam pada anak kecil. Fase kritis, perhatikan tanda syok karena kebocoran plasma; perdarahan hebat; dan kerusakan organ. Terakhir fase pemulihan, waspadai adanya hypervolaemia (kelebihan cairan tubuh jika terapi cairan intravena/infus berlebihan).

Waspada dengan Demam

Bila kita perhatikan berbagai karakteristik DBD tersebut di atas, gejala yang paling awal muncul setelah terinfeksi dengue adalah demam tinggi yang mencapai 39-40 derajat Celsius. Sedangkah gejala lain yang bisa dipantau seperti ruam baru terlihat ketika virus telah berkembang lebih jauh. Khusus pada anak Balita, gejalan lain seperti nyeri, mual, dll., terkadang tidak tersampaikan dengan jelas kepada orang tua sebagai penanggung jawab utama akan status kesehatannya.

Celakanya lagi, demam bukan satu-satunya tanda/gejala yang disebakan oleh virus DBD. Seorang bisa saja demam akibat flu, kurang cairan, infeksi pada luka, dan masih banyak kemungkinan lainnya. Bahkan masih banyak masyarakat yang meyakini mitos, bahwa anak bayi yang demam bisa terjadi akibat pertumbuhan gigi baru atau ketika usianya genap 1 bulan, 2 bulan, dan seterusnya.

Bayangkan ketika anak-anak seperti itu mengalami infeksi virus dengue, ketika sudah muncul gejala demam, orang tua masih menganggap itu hanya demam biasa. Artinya tidak perlu mencari pertolongan ke rumah sakit, nanti bisa sembuh dengan sendirinya. Ketika kondisinya makin memburuk, terlihat makin lemah, barulah buru-buru cari pertolongan. Bila anak tersebut sudah masuk pada fase kritis tanpa penanganan yang memadai, maka besar kemungkinan akan berakibat fatal.

Karena itu penulis menganjurkan, sebaiknya gejalan demam yang terjadi pada anak, -khususnya Balita- selama musim hujan, selalu dicurigai sebagai tanda awal DBD. Supaya bisa memastikannya, maka tidak ada pilihan lain, harus mencari fasilitas kesehatan yang memadai. Diagnosis DBD yang pasti dan sahih, hanya bisa dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium.

Seandainya saat pemeriksaan laboratorium dinyatakan positif DBD, maka bisa langsung mendapatkan perawatan suportif di tempat yang memiliki fasilitas memadai serta ditangani tenaga profesional. Kalau toh tidak terinfeksi dengue, paling tidak kita bisa merasa lega karena telah memastikannya. Buat anak kan tidak boleh coba-coba.

 

Oleh: Saverinus Suhardin, S.Kep.,Ns

(Perawat Kesehatan Komunitas FKp Unair)

 

Sumber Bacaan

Carabali, M., Hernandez, L. M., Arauz, M. J., Villar, L. A., & Ridde, V. (2015). Why are people with dengue dying? A scoping review of determinants for dengue mortality. BMC Infectious Diseases, 15(1), 1–15. https://doi.org/10.1186/s12879-015-1058-x

Garcia, R. A., Chismark, E., & Eggert, J. (2015). Dengue Virus: Another Type of Immigrant. Journal for Nurse Practitioners, 11(1), 34–40. https://doi.org/10.1016/j.nurpra.2014.10.019

Jawapos.com. (2019). Kasus DBD di Jatim Tertinggi Se-Indonesia, 2.657 Orang Terjangkit. Retrieved January 2, 2020, from Jawapos.com website: https://www.jawapos.com/kesehatan/health-issues/31/01/2019/kasus-dbd-di-jatim-tertinggi-se-indonesia-2657-orang-terjangkit/

KemenkesRI. (2019). Kesiapsiagaan Menghadapi Peningkatan Kejadian Demam Berdarah Dengue Tahun 2019. Retrieved January 2, 2020, from KemenkesRI website: http://p2p.kemkes.go.id/kesiapsiagaan-menghadapi-peningkatan-kejadian-demam-berdarah-dengue-tahun-2019/

WHO. (2009). Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control : New Edition. Retrieved January 2, 2020, from WHO website: https://www.who.int/tdr/publications/documents/dengue-diagnosis.pdf


KIRIM TULISAN
LITERASI HIDUP SEHAT