Kurangi Risiko Pneumonia Pneumocystis Carinii (PCP) pada Pasien HIV dengan Tidak Merokok

2020-11-18 02:58:39


HIV (Human Immunodificiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ketubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak system pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya datanglah berbagai jenis penyakit lain (Situmaeng, Syarif, & Mahkota, 2017).

Pneumonia Pneumocystis Carinii (PCP) merupakan infeksi oportunistik yang sering dijumpai dan menyebabkan kematian pada penyandang AIDS (80%). Penyandang AIDS dengan inisiasi terapi saat kadar sel T CD4+ kurang dari 100 sel/µL memiliki risiko tinggi terhadap insiden PCP. Pneumonia juga merupakan infeksi oportunistik terbanyak penyebab kematian penyandang AIDS sesuai dengan penelitian. Penelitian dilakukan selama 16 bulan dengan 16 penyandang meninggal akibat pneumonia bakterialis. Penyandang AIDS tersebut tidak mengonsumsi ART secara kontinyu dan merupakan perokok. Merokok merupakan faktor risiko utama dengan risiko pneumonia bakterialis 80% lebih tinggi dibanding dengan yang bukan perokok. Studi menunjukkan insiden pneumonia nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia) merupakan pneumonia bakterialis utama pada penyandang AIDS. Studi retrospektif dilakukan pada penyandang HIV/AIDS di Infectious Diseases Clinic of Milan pada tahun 1988-2002. Mikroorganisme utama penyebab pneumonia nosokomial adalah Pseudomonas aeruginosa (33%) Staphylococcus aureus (25%) dan Streptococcus pneumoniae (21%). Angka kematian sebesar 25,8% dengan penyebab utama resistensi terhadap metisilin (Putri, Darwin, & Efrida, 2015).

Pada penelitian, kelainan yang paling sering ditemukan pada foto toraks adalah bronkhitis kronis/bronkhitis kronis dengan emfisema paru, yaitu sebanyak 49,4%. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya riwayat merokok. Pada literatur dikatakan bahwa pasien HIV di negara berkembang memiliki riwayat merokok yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Negara berkembang hampir 75% pasien HIV memiliki riwayat merokok (Soetikno, 2016).

Literatur lain menyatakan bahwa pasien HIV/AIDS dengan riwayat merokok memiliki risiko lebih besar mendapat kelainan paru seperti penyakit saluran pernafasan, emfisema, dan penyakit paru obstruktif kronis dibandingkan individu non-HIV dengan riwayat merokok. Merokok menyebabkan penurunan jumlah sel-sel CD4 alveolar dan sitokin-sitokin seperti IL-1 dan TNF-α. Lebih jauh lagi, merokok menekan kapasitas fagositosis makrofag alveolar. Efek-efek tersebut lebih nyata terjadi pada pasien HIV dibandingkan non-HIV (Soetikno, 2016).

Pada penelitian ini juga ditemukan hal menarik, bahwa ternyata terdapat hubungan yang sangat bermakna (p ≤ 0,01) antara jenis kelamin dengan gambaran foto toraks, yaitu pada subjek penelitian laki-laki lebih banyak ditemukan gambaran foto toraks tidak normal dibandingkan perempuan. Kelainan foto toraks yang paling banyak ditemukan baik pada laki-laki maupun perempuan adalah bronkhitis kronis/bronkhitis kronis dengan emfisema paru, yaitu sebanyak 54% pada laki-laki dan 41,9% pada perempuan. Memperlihatkan bahwa laki-laki lebih banyak memperlihatkan bronkhitis kronis/bronkhitis kronis dengan emfisema paru pada foto toraks (66,7%) dibandingkan dengan perempuan (34,7%) secara bermakna, dengan p=0,003. Tabel tersebut juga menunjukkan nilai RP (Rasio Prevalens) 1,92, yang berarti laki-laki memiliki peluang 1,92 kali lebih besar terjadi bronkitis kronis dibandingkan perempuan (Soetikno, 2016).

Hal tersebut mungkin disebabkan karena lebih banyak laki-laki yang memiliki riwayat merokok daripada perempuan. Sesuai dengan hasil sensus ekonomi nasional tahun 2004 yang dikutip oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Indonesia, 63% penduduk laki-laki merokok, dibandingkan dengan hanya 4,5% penduduk perempuan yang merokok di Indonesia (Soetikno, 2016).

Beratnya infeksi pada PCP menjadikan pencegahan sangat penting dilakukan pada kelompok berisiko. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang merokok lebih kemungkinan meningkatkan risiko beberapa infeksi oportunitis termasuk kandidiasis dan Pneumonia Pneumocystis Carinii (PCP). (Agustriadi, 2017)

Pencegahan yang paling tepat dilakukan untuk mencegah PCP ini adalah dengan berhenti merokok, tidak dapat dipungkiri sangat sulit untuk berhenti merokok. Beberapa orang berhenti merokok mendadak (Cold Turkey) sementara orang lain membutuhkan suatu macam dukungan. Dukungan ini dapat bersifat obat yang membantu menangani gejala fisik lepas zat. Ada juga macam terapi yang menangani masalah ketagihan psikologis (Latifah, 2016).

Gejala lepas nikotindapat diobati, beberapa obat dapat dibeli tanpa resep, sementara yang lain mungkin membutuhkan resep. Permen karet atau lozenge yang mengurangi ketagihan sering dijual tanpa resep. Obat resep ternasuk inhaler dan semprot hidung, serta juga pil. Obat ini semua mengobati gejala fisik dan kimia bebas zat. Namun penggunaan dua jenis obat penghentian merokok, yaitu vareniklin dan bupropion menimbulkan risiko perubahan perilaku, suasana hati yang depresi, permusuhan, dan rasa ingin bunuh diri (Latifah, 2016). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk berhenti merokok :
1 Beberapa orang mendapat bantuan berhenti merokok dengan mengubah rutinitas yang mendorong merokok
2 Mencari dukungan untuk mengurangi factor seperti stress yang mendorong untuk merokok
3 Mengikuti kelompok motivasi untuk orang yang ingin berhenti merokok
4 Beberapa orang berhasil dengan terapi tradisional, misalnya akupuntur atau hypnosis.

Seseorang ketika pertama kali mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV akan melakukan koping yang dinamakan Escape/avoidance. Escape/avoidance, yaitu usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan (Paputungan, 2012). Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh ODHA sebagai support system atau sistem pendukung utama sehingga ia dapat mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menghadapi stressor terkait penyakitnya baik fisik, psikologis, maupun sosial. ODHA akan terhindar dari respon koping yang salah seperti merokok, yang dapat memperburuk kesehatannya. Peran keluarga dalam mendukung kesehatan pasien diantara lain (Novrianda, 2018):
1. Keluarga harus mampu memberikan rasa aman pada ODHA, dengan tidak menghindari, mengasingkan serta tidak menolak keberadaannya.
2. Memberikan dukungan kepada ODHA dapat juga berupa pemberian informasi, bantuan tingkah laku ataupun materi sehingga ODHA merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai. Keluarga mampu menerima kondisi ODHA, terus mendampingi pada masa sulit, mengantar berobat ke dokter, membantu mencari dan memberi informasi tentang penyakit HIV/AIDS, dapat membuat ODHA merasa dihargai dan hidupnya menjadi lebih berarti.

Oleh:
Dosen Pembimbing : Dr. Ninuk Dian K, S.Kep., Ns., M. ANP
Kelompok 1 PJBL Keperawatan HIV/AIDS kelas A1-2018
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga

Referensi:
Agustriadi, O. (2017). Aspek Pulmunologis Infeksi Oportunitis pada Infeksi HIV/AIDS. Jurnal Penyakit Dalam , 9(3), 233-243.

Latifah, D. (2016). Peran Pendamping Bagi Orang dengan HIV/AIDS. Prosisding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 3(2), 244-248.

Novrianda, D. (2018). Dukungan Keluarga dan Kualitas Hidup Orang dengan HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support. Jurnal lmu Keperawatan Medikal Bedah 1(1):26.

Paputungan, K. (2012). Dinamika Psikologis pada Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA). Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

Putri, A. J., Darwin, E., & Efrida, E. (2015). Pola Infeksi Oportunistik yang Menyebabkan Kematian pada Penyandang AIDS di RS Dr. M. Djamil Padang Tahun 2010-2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 10–16. https://doi.org/10.25077/jka.v4i1.174

Soetikno, R. D. (2016). Hubungan antara Jumlah CD4 dan Gambaran Foto Toraks pada Penderita HIV / AIDS. JKM, Vol 10 no., 8–9. Situmaeng, B., Syarif, S., &

Mahkota, R. (2017). Hubungan Pengetahuan HIV/AIDS dengan Stigma terhadap Orang dengan HIV/AIDS di Kalangan Remaja 15-19 Tahun di Indonesia. Journal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 1(2), 35-43.


KIRIM TULISAN
LITERASI HIDUP SEHAT