INFORMASI TEST ELPT (KLIK DISINI)

Peran Perawat Dalam Menjaga Kesehatan Mental Pasien Yang Menjalani Hemodialisis

  • By USI_FKp
  • In Ners News
  • Posted 16 June 2022

NERS NEWS -Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI, 2021) penyakit ginjal tahap akhir merupakan suatu keadaan patologis yang ditandai dengan kelainan struktural maupun fungsional yang berlangsung lebih dari tiga bulan serta terjadinya kerusakan ginjal dan penurunan fungsi ginjal dengan Glomerular Filtrate Rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2. Penyakit ginjal tahap akhir ini merupakan diagnosis akhir dari perkembangan penyakit ginjal kronik akibat penurunan fungsi ginjal. Kehilangan fungsi ginjal terjadi secara permanen sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal seumur hidup (Tim Pokja SDKI, 2017).
Pasien dengan gagal ginjal tahap akhir hanya bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisis, yang masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari terapi hemodialisis. Permasalahan pasien gagal ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis sangat komplikasi sehingga dapat memberikan stresor fisiologis maupun psikologis sehingga dapat memengaruhi kualitas hidup pada pasien. Perubahan hidup yang terjadi seringkali menyebabkan hilangnya makna dalam hidup pasien dan peningkatan gangguan psikologis dan menimbulkan krisis emosional yang kuat. Penurunan kualitas hidup ditandai dengan munculnya berbagai respon emosional negatif antara lain penurunan harga diri, perasaan putus asa dan tidak berdaya. Hal ini dapat menyebabkan suasana hati pasien menjadi lebih buruk dan pasrah (Wahyuni, Miro & Kurniawan, 2018).
Gangguan psikologis merupakan masalah yang signifikan bagi pasien gagal ginjal tahap akhir yang sudah lama menjalani hemodialisis dikarenakan rentan terhadap stres terutama karena paparan stresor hemodialisis dan berbagai aturan yang harus diikuti. Stresor lainnya adalah masalah kehidupan, baik yang berkaitan dengan ekonomi, hubungan pribadi dengan pasangan, dengan anak-anak atau anggota keluarga lainnya, hubungan sosial, pekerjaan, bahkan pendidikan (Widyawati, 2019).
Penyakit ginjal tahap akhir ini menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan terapi pengganti, karena kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan elektrolit. Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal progresif ditandai dengan uremia (urea dan limbah lain yang beredar di dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal) (Indonesian Renal Registry, 2016).
World Health Organization (WHO) menyebutkan prevalensi penyakit ginjal tahap akhir pada tahun 2011 sebanyak 2.786.000 orang, tahun 2012 sebanyak 3.018.860 orang dan tahun 2013 sebanyak 3.200.000 orang. Data tersebut diketahui adanya peningkatan angka kesakitan pasien penyakit ginjal tahap akhir tiap tahunnya sebesar 6% (United State Renal Data System / USRDS, 2015).
Hasil Riskesdas pada 2013 menunjukkan bahwa prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir di Indonesia sebesar 2% atau 2 per 100 penduduk (Kemenkes RI, 2013), kemudian Riskesdas tahun 2018 memperlihatkan prevalensi peningkatan penderita penyakit ginjal tahap akhir menjadi 3,8% (Kemenkes RI, 2018). Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan Riskesdas tahun 2013, penyakit ginjal tahap akhir menempati urutan ke-10 setelah sebelumnya menempati peringkat ke-12 sebagai penyakit terminal yang membahayakan nyawa manusia dengan prevalensinya sebesar 0.1% kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2018 menjadi 4,0% (Riskesdas, 2018). Studi pendahuluan di RSUD Abadi Samboja bulan Juni, Juli dan Agustus 2021 terdapat 41 pasien penyakit ginjal tahap akhir.
Hemodialisis merupakan salah satu metode yang layak, aman dan efisen untuk pemeliharaan klien penyakit ginjal tahap akhir yang sudah mencapai stadium akhir atau penyakit ginjal tahap akhir dengan frekuensi dialisis dua hingga tiga kali seminggu dengan durasi dialisis sekitar 4 jam. Peralatan dan prosedur hemodialisis semakin berkembang, namun hemodialisis masih merupakan terapi yang rumit, tidak nyaman untuk klien dan bukan tanpa komplikasi. Klien yang menjalani hemodialisis mengalami perubahan perfusi diakibatkan karena ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang ada dalam tubuhnya karena proses hemodialisis, sehingga mengakibatkan munculnya berbagai komplikasi intradialisis (Armiyati, 2019).
Tujuan keperawatan jangka pendek pada penyakit ginjal tahap akhir di hemodialisis yaitu untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta mengembalikan manifestasi kegagalan ginjal yang irreversibel, tetapi tidak menyembuhkan penyakit ginjal tahap akhir. Proses terapi hemodialisis yang memerlukan waktu jangka panjang ini akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Pasien dapat mengalami gangguan konsentrasi, proses berpikir hingga gangguan dalam hubungan sosial. Semua kondisi tersebut akan menyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien, maka diperlukan keperawatan jangka panjang untuk mengoptimalkan kesehatan, mencegah komplikasi, mengontrol gejala, menyusun sumber-sumber pengobatan, meminimalisir gangguan dalam penyakit yang dapat mengganggu kehidupannya (Faruq, 2017).
Selain itu, pasien yang menjalani hemodialisis mengalami perubahan dan keterbatasan fisik, baik dalam bergerak, berkomunikasi dan berpikir nantinya akan sangat mengganggu fungsi peran penderita sehari-hari. Perubahan fisik yang terjadi akibat penyakit ini menimbulkan keluhan-keluhan rasa sakit pada penderitanya. Keluhan rasa sakit ini dapat disertai dengan perubahan emosi yang hebat diwujudkan sebagai pelampiasan dari rasa sakit yang dideritanya. Hal ini membuat, pasien yang menjalani hemodialisis secara psikologis sulit mengendalikan emosi. Gangguan emosi yang disebabkan dari perubahan fisik yang dialaminya, penderita akan membuat persepsi bahwa dirinya sudah tidak berharga, memalukan, tidak berguna dan menjadi beban bagi keluarga. Perasaan seperti ini muncul karena penderita sadar dengan kondisinya yang sudah mengalami keterbatasan dari fungsi fisiknya. Kondisi seperti inilah menyebabkan citra diri terganggu, merasa tidak mampu, jelek, memalukan dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu terpenuhinya kebutuhan pasien agar mencapai spiritual wellbeing (kesejahteraan spiritual) (Hartanti, 2016).
Spiritual wellbeing dapat menjadi sumber kekuatan individu dalam menghadapi penyakit selain dukungan dari keluarga karena kesejahteraan spiritual dapat meningkatkan koping individu ketika sakit dan mempercepat proses penyembuhan selain terapi medis yang diberikan,maka sangat penting memenuhi spiritual wellbeing pada pasien yang menjalani hemodialisis. Spiritual wellbeing berupa proses menguraikan sifat ikatan yang dinamis antara pribadi dan pencipta, hubungannya cukup harmonis tergantung pada pengembangan diri yang dilakukan secara sengaja, biasanya datang atas dasar kesesuaian antara pengalaman hidupnya yang bermakna, memiliki tujuan dan nilai-nilai kehidupan pribadi (Herniawati, 2018).
Spiritual wellbeing merupakan inti dari penyembuhan dan merupakan bagian integral dari kesehatan fisik, mental dan emosional. Spiritual wellbeing didefinisikan sebagai rasa penerimaan, emosi positif, kegembiraan dan interaksi positif dengan sang pencipta, orang lain, diri sendiri yang dicapai melalui proses kognitif emosional dan interaksi yang dinamis dan terkoordinasi. Spiritual wellbeing melibatkan dua aspek yaitu aspek eksistensial dan aspek religius, aspek eksistensial menunjukan upaya untuk mencapai makna dan tujuan hidup, sedangkan aspek religius yaitu suatu keyakinan atau prinsip-prinsip yang dilakukan melalui praktek yang berhubungan dengan Tuhan (Mansori et al, 2017).
Domain spiritual wellbeing menurut Fisher sebagai solusi yang memengaruhi kesejahteraan spiritual pada pengembangan beberapa hubungan dengan kesesuaian daerah keberadaan individu. Meliputi hubungan dengan diri sendiri (domain personal), berkaitan dengan diri sendiri, pencarian makna pribadi, pencarian tujuan dan nilai-nilai kehidupan. Hubungan dengan orang lain (domain communal) berupa kualitas dan kemampuan interpersonalnya dengan tingkat kualitas lebih mendalam, menjalin hubungan dengan orang lain, berkaitan dengan moralitas dan budaya. Hubungan dengan lingkungan (domain environmental), berupa keterikatan terhadap lingkungan secara natural, kepuasan saat mengalami pengalaman puncak (peak experience), menikmati keindahan alam, kemampuan untuk memelihara lingkungan agar dapat memberi manfaat terhadap sekitar. Hubungan dengan transenden (domain transcendental), kemampuan untuk menjalin hubungan dengan pencipta, melibatkan iman, pemujaan dan penyembahan terhadap realitas transenden yaitu Tuhan (Kurniawati, 2019).
Penelitian Pilger (2017) menjelaskan bahwa ada hubungan spiritual wellbeing dengan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis memiliki kekuatan yang kuat dengan arah korelasi positif atau korelasi searah. Korelasi yang positif atau searah berarti menunjukkan bahwa apabila memiliki spiritual wellbeing yang baik maka akan mendapatkan kualitas hidup yang tinggi. Pemenuhan spiritual wellbeing yang optimal ditandai dengan seseorang memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan dan hubungan dengan orang lain. Rasa terhubung dengan Tuhan salah satunya dapat dilihat dari komitmen beragama. Komitmen agama berperan penting dalam pencegahan penyakit, mengurangi penderitaan saat sakit serta mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Agama memiliki dimensi yang salah satunya berupa dimensi ritualistik yaitu kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana diperintahkan atau dianjurkan oleh agama yang dianutnya. Agama Islam, dimensi ritualistik meliputi pelaksanaan salat, puasa, zakat, haji bila mampu, pembacaan Al’quran, pemanjatan doa, dan lain lain. Hal ini akan menimbulkan pengalaman religius. Pengalaman religius ini berupa perasaan dekat dengan Allah, dicintai oleh Allah, terkabulnya doa-doa, perasaan tentram dan bahagia karena menuhankan Allah, bertawakal, bersyukur kepada Allah, dan sebagainya (Hanie, 2016).
Pemenuhan spiritual wellbeing yang berasal dari hubungan dengan orang lain berupa dukungan yang datang dari keluarga, teman, kerabat, dan tenaga kesehatan. Orang lain yang memahami bahwa penderita memerlukan kebutuhan spiritual dengan memberikan harapan dan kedamaian. Hubungan dengan orang lain, lahir dari kebutuhan akan keadilan dan kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan kesepian, keinginan dihargai dan diperhatikan dan lain sebagainya. Beberapa sikap hidup yang dapat dikembangkan terkait hubungan dengan orang lain dalam memaafkan, mengembangkan kasih sayang dan dukungan sosial. Keinginan untuk menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk melawan banyak penyakit. Seseorang yang mempunyai pengalaman cinta kasih dan dukungan sosial yang kuat cenderung menentang perilaku tidak sehat dan melindungi individu dari penyakit (Yusuf dkk, 2017).
Fisher (2017) mengatakan bahwa spiritual wellbeing mencerminkan sejauhmana orang hidup dalam harmoninya berkaitan dengan makna, tujuan dan nilai-nilai kehidupan, yang mengindikasikan kualitas hidup, setiap individu memiliki kualitas hidup yang berbeda tergantung dari masing-masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Jika menghadapi dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika menghadapi dengan negative maka akan buruk pula kualitas hidupnya.
Sistem yang terdapat di RSUD Abadi Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara ini belum ada yang mengatur wewenang pemberian asuhan keperawatan spiritual, belum ada pembagian tupoksi yang jelas tentang pelaksanaan asuhan keperawatan spiritual, belum ada SOP untuk perawat tentang pelaksanaan asuhan keperawatan spiritual, dan belum ada format asuhan keperawatan spiritual yang memadai. Selama ini pemberian kebutuhan spiritual hanya jika ada permintaan pasien.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka perlu dilakukan pengkajian yang mendalam dengan judul penelitian mengenai Spiritual Wellbeing pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis di RSUD Abadi Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara. Fenomena penelitian mengenai spiritual wellbeing pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis sering kali dilakukan menggunakan metode kuantitatif padahal dinilai kurang mampu dalam mengungkap beberapa fenomena sosial.
Penelitian terdahulu yang dilakukan Darrell (2016) menunjukkan bahwa penilaian spiritual secara kualitatif dapat membantu mengidentifikasi kekuatan spiritualitas dalam pengembangan keterampilan koping positif pada pasien didiagnosis dengan penyakit kronis atau stadium akhir dalam populasi yang spiritualitasnya mungkin menjadi faktor yang signifikan. Didukung penelitian Kisseih-Kwao (2020) menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara gejala psikologis (depresi, kecemasan dan somatisasi) dengan religiusitas/spiritual pada pasien hemodialisis.
Penderita penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis yang sejahtera secara spiritual dan memiliki harapan dapat membantu mereka untuk berperilaku yang mengarah pada kesehatan misalnya, berdoa untuk meningkatkan kesempatan hidup, kualitas hidup dan kepuasan dalam hidup. Spiritual wellbeing berdampak positif terhadap pasien penyakit ginjal tahap akhir antara lain meningkatkan kualitas hidup pasien, pengurangan efek samping yang dirasakan, peningkatan level energi, relaksasi emosional, menurunkan keinginan untuk mempercepat kematian, meningkatkan keadaan umum, peningkatkan kesejahteraan emosional (Harlianty & Ediati, 2016). Oleh karena itu, sudah semestinya tenaga kesehatan termasuk perawat memperhatikan aspek spiritual pasien karena merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi pasien penyakit ginjal tahap akhir.
Penelitian ini penting dilakukan karena kepercayaan terhadap kesehatan spiritual dapat membantu mempengaruhi relaksasi mental dan mengurangi kecemasan akan penyakit yang diderita pasien penyakit ginjal tahap akhir sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur pasien hemodialisis serta mampu mengahasilkan efek tenang dalam menghadapi stres dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Pada orang tanpa kesehatan spiritual yang baik, tidak dapat mencapai taraf kualitas hidup yang tinggi. Segala aspek akan lebih memburuk jika pasien tidak memiliki tingkat spiritualitas yang baik dan sehat.
Artikel ini ditulis oleh Sri Ratu Indah B, mahasiswa Prodi Magister Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan kesehatan mental pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa.

Penulis : Sri Ratu

Pin It
Hits 4039