Insomnia pada Lansia

2022-07-05 15:27:50


Gangguan tidur atau insomnia pada lanjut usia merupakan suatu proses normal yang dikaitkan dengan proses penuaan, kondisi mental, dan kesehatan. Sehingga, orang yang mengalami insomnia akan kesulitan memulai atau mempertahankan tidur. Insomnia merupakan keluhan yang sering dialami pada populasi umum. Insomnia kebanyakan dialami oleh perempuan dengan lanjut usia, orang dengan pendidikan rendah dan ekonomi rendah, serta pada orang yang mengalami penyakit kronik. Sekitar 50% dari populasi lanjut usia mengalami insomnia.

Keluhan gangguan tidur sebenarnya dapat terjadi pada berbagai usia, tetapi prevalensi insomnia sendiri cenderung makin meningkat pada lansia, hal ini juga berhubungan dengan bertambahnya usia dan adanya berbagai penyebab lainnya. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada 5886 lansia berusia 65 tahun ke atas, didapatkan bahwa lebih dari 70% lansia diantaranya mengalami insomnia (Bestari, 2013). Insomnia meningkatkan resiko dalam perkembangan depresi (Yasoda Gera, L.P.M., Wahyuni, A.A.S., Ardani, I.I., 2019).

Penyebab Insomnia pada Lansia

a) Stres: Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan, sekolah atau keluarga, kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga memicu sulit tidur.

b) Kecemasan dan depresi: Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

c) Obat-obatan: Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin dan Kortikosteroid).

d) Kafein, nikotin, dan alkohol: Kopi, teh, cola, dan minuman yang mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.

e) Kondisi medis: Jika seseorang memiliki nyeri kronis, kesulitan bernafas, dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka mengalami insomnia lebih besar. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat arthritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), stroke, penyakit parkinson, dan alzheimer.

f) Perubahan lingkungan atau jadwal kerja: Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh (Hidayatus Syadiyah, 2018).

Gejala Insomnia

1. Kesulitan untuk tidur pada waktu yang normal (initial insomnia): Didefinisikan sebagai kesulitan tidur lebih dari 30 menit. Hal ini biasanya disebabkan karena tingkat kesadaran tinggi yang berhubungan dengan ansietas atau faktor lain.

2. Kesulitan untuk mempertahankan tidur atau sering terbangun dari tidur lalu sulit tertidur kembali: Keadaan ini bisa muncul secara ireguler dalam 1 malam atau muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti selama fase tidur REM.

3. Terbangun lebih cepat di pagi hari (terminal insomnia): Kondisi ini cukup sering ditemukan pada orang tua. Merasa tetap lelah dan mengantuk meskipun durasi tidur sudah cukup. Merasa cemas jika sudah mendekati waktu tidur.

Penanganan Insomnia

Jika Anda mengalami gejala insomnia, maka dianjurkan untuk segera memeriksa kondisi kesehatan ke pelayanan kesehatan yang nantinya akan diberikan beberapa penanganan jika sudah terdiagnosa insomnia. Terapi untuk penanganan Insomnia dibagi menjadi 2 jenis, yaitu terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi farmakologis digunakan sebagai pengobatan utama dalam penanganan gejala Insomnia. Obat-obatan ini termasuk sedative-hypnotic, antihistamin, antidepresan, antipsikotik, dan antikonvulsan. Sedangkan terapi non farmakologis lebih menekankan pada perubahan perilaku yang berhubungan dengan tidur.

a) Terapi Non farmakologi

Terapi nonfarmakologi khususnya behavioral therapies efektif sebagai farmakoterapi dan diharapkan menjadi pilihan pertama untuk insomnia kronis pada pasien usia lanjut. Behavioral therapies terdiri dari beberapa metode yang dapat diterapkan baik secara tunggal maupun kombinasi, yaitu:

- Stimulus control: Melalui metode ini, pasien diedukasi untuk menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan menghindari aktivitas lain seperti membaca dan menonton tv di tempat tidur.

- Sleep restriction: Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur dan meningkatkan sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada di tempat tidur.

- Sleep hygiene: Bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.

- Terapi relaksasi: Tujuan terapi ini adalah mengatasi kebiasaan usia lanjut yang mudah terjaga di malam hari saat tidur. Metode terapi relaksasi yakni meliputi melakukan relaksasi otot, guided imagery, latihan pernapasan dengan diafragma, yoga atau meditasi.

- Cognitive behavioral therapy: Psikoterapi kombinasi yang terdiri dari stimulus control, sleep restriction, terapi kognitif dengan atau tanpa terapi relaksasi. Terapi ini bertujuan untuk mengubah maladaptive sleep belief menjadi adaptive sleep belief.

b) Terapi Farmakologi

Ada lima prinsip dalam terapi farmakologi yaitu: Menggunakan dosis yang rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat intermiten (3-4 kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4 minggu), penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada gejala insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Terapi farmakologis insomnia menurut Michael H. Bonnet dan Donna L. Arand (2019) adalah:

- Obat Sedative-hypnotic: Bekerja di otak untuk menyebabkan pasien merasa mengantuk. Perbedaan utama antara berbagai obat penenang-hipnotis adalah seberapa cepat mereka mulai bekerja dan berapa lama efeknya berlangsung.

- Benzodiazepine: Jenis obat resep lama yang menyebabkan sedasi, relaksasi otot, dan dapat menurunkan tingkat kecemasan. Benzodiazepin yang biasa digunakan untuk pengobatan insomnia termasuk quazepam (Doral), triazolam (Halcion), estazolam (ProSom), temazepam (Restoril), flurazepam (Dalmane), dan lorazepam (Ativan). Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering digunakan untuk mengobati insomnia pada usia lanjut.

- Nonbenzodiazepine: Obat-obatan ini mungkin memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan benzodiazepine karena mereka bekerja lebih banyak di pusat-pusat tidur dan lebih sedikit di daerah lain di otak. Obat golongan non- benzodiazepine yang aman pada usia lanjut yaitu: Zaleplon, Zolpidem, Eszopiclone, Melatonin receptor agonist, dan Sedating Antidepressant.

- Suvorexant (Belsomra): Obat resep yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) pada tahun 2014 untuk insomnia. Obat ini bekerja dengan menghalangi zat kimia otak yang disebut orexin (Yang membuat terjaga).

- Antidepresan: Formulasi doxepin untuk insomnia disebut Silenor. Obat ini mungkin paling bermanfaat untuk pasien dengan kesulitan tidur. Efek samping Silenor yang paling umum adalah rasa kantuk pada hari berikutnya, mulut kering, dan mata kering.

- Antihistamin: Membantu tidur tanpa resep seperti Nytol, Sominex, dan Unisom mengandung antihistamin.

- Melatonin: Hormon yang biasanya diproduksi oleh kelenjar di otak. Hormon ini tidak membantu pada kebanyakan orang yang memiliki insomnia, kecuali pada orang dengan sindrom fase tidur tertunda.

 

Referensi:

Astuti, N.M.H. (2011) Penatalaksanaan Insomnia Pada Usia Lanjut. Denpasar: Fakultas Kedokteran

Larayanthi, C.I. (2013) 'Management of Insomnia in Geriatric Patients’, E-Jurnal Medika Udayana, 2(5), p782–798. Dipetik July 4, 2022, https://www.mendeley.com/catalogue/0037b7e9-0e03-39ee-9d22-165ccf44c90c/

Rarasta, M. et al. (2018) ‘Prevalensi Insomnia pada Usia Lanjut Warga Panti Werdha Dharma Bakti dan Tresna Werdha Teratai Palembang’, Biomedical Journal of Indonesia, 4(2), p60-66

Yasoda, G.L.P.M., Wahyuni, A.A.S., & Ardani, I.I. (2019) ‘Hubungan Insomnia dengan Depresi pada Lanjut Usia di Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Tahun 2017’, Intisari Sains Medis, 10(10), doi:doi:10.15562/ism.v10i2.188.

Zaini, N.B. (2013), ‘What is Insomnia’, E-Jurnal Medika Udayana, 2(12), p2061-2076. Dipetik July 7, 2022, https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/vi

 

Penulis: Ida Sholihatun Nisa’ (Airlangga Nursing Journalist)
Editor: Salwa Az Zahra (Airlangga Nursing Journalist)


KIRIM TULISAN
LITERASI HIDUP SEHAT