2019-12-11 02:58:32
Pernahkah kita membayangkan apa yang akan terjadi bila ginjal gagal menjalankan tugasnya? Perlu kita sadari, salah satu fungsi ginjal adalah mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh kita. Saat ginjal rusak oleh berbagai sebab, maka air yang masuk lewat makanan dan minuman akan tertimbun dalam tubuh.
Cairan yang berlebihan dalam tubuh akan memberatkan kerja jantung memompa darah, sebab volumenya terus bertambah. Selanjutnya, cairan yang berlebihan itu akan merembes ke luar dari pembuluh darah dan menempati ruang antar sel-sel tubuh. Dari luar, kita akan melihatnya sebagai bengkak di seluruh tubuh.
Hal yang paling membahayakan tatkala cairan itu menumpuk di paru-paru. Bila jaringan paru direndam cairan, maka gas oksigen dan karbondioksida tidak bisa bertukar dengan leluasa. Makanya pada orang yang menderita gagal ginjal, salah satu gejala yang sering tampak adalah sesak napas yang sangat berat.
Masih banyak lagi gejala yang memberatkan dari kondisi gagal ginjal, seperti buang air kecil yang sangat sedikit (oliguria), pucat akibat hemoglobin (Hb) yang rendah, hipertensi sebagai kompensasi peningkatan volume darah, dan bisa mengalami penurunan kesadaran (ensefalopati). Bila mengalami gagal ginjal kronik, maka penderitanya ditangani dengan dialisis ginjal (cuci darah), transplantasi (penggantian organ ginjal) dan berisiko mengalami kematian (Corwin, 2009).
Masalah Ginjal yang Mengganjal
Saat ini, laporan tentang penderita penyakit ginjal dari berbagai belahan dunia yang sudah menjadi beban perawatan kesehatan terus mengalami peningkatan. Fakta tersebut cukup mengganjal, membuat kita makin gamang menghadapinya. Namun pada lain pihak, informasi itu cukup menyadarkan kita agar lebih waspada, semakin giat melakukan berbagai tindakan pencegahan.
Berdasarkan data yang dilansir dalam website worldkidneyday.org, (2019), diperkirakan saat ini ada 850 juta penderita penyakit ginjal di seluruh dunia. Penyakit Ginjal Kronis (PGK) menyebabkan setidaknya 2,4 juta kematian per tahun dan menjadi penyebab kematian tercepat yang keenam.
Di wilayah kita Indonesia, jumlah penderita PGK juga lumayan banyak dan memiliki tren peningkatan temuan kasus tiap tahunnya. Mungkin ada kaitannya dengan laporan data dunia yang menunjukkan kalau prevalensi penyakit ginjal banyak ditemukan di negera berpenghasilan rendah dan menengah. Ciri itu sangat identik dengan kita di Indonesia.
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi PGK berdasarkan diagnosis dokter pada pendudukan berumur 15 tahun ke atas sebanyak 2,0% permil (KemenkesRI, 2017). Sedangkan Riskesdas 2018 menunjukkan peningkatan mencapai 3,8% permil (KemenkesRI, 2018).
Kurangi Perilaku Ganjil
Prevalensi PGK sebenarnya bisa ditekan bila kita bisa mengurangi perilaku atau kebiasaan yang ganjil bagi kesehatan ginjal. Perilaku ganjil yang dimaksudkan adalah perilaku yang tidak sesuai dengan anjuran kesehatan. Penggunaan kata ganjil dalam tulisan ini memang agak sedikit dipaksakan untuk menimbulkan kemiripan bunyi dengan ginjal.
Berdasarkan rekomendasi Comprehensive Clinical Nephrology (2015), terdapat beberapa kondisi yang menjadi faktor risiko seseorang mengalami penyakit ginjal, seperti: umur di atas 50 tahun, diabetes (gula darah meningkat), hipertensi (darah tinggi), perokok, obesitas (berat badan berlebihan), dan memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit ginjal (KemenkesRI, 2017).
Berbagai faktor risiko tersebut, ada bagian yang tidak mungkin dielakkan seperti usia dan riwayat penyakit keluarga. Tapi, beberapa pemicu yang bisa dimodifikasi dengan gaya hidup yang sehat, setidaknya bisa mengurangi kejadian PGK. Perilaku “ganjil” seperti merokok, minum alkohol berlebihan, makan berlebihan dan tidak rutin berolahraga, hipertensi dan diabetes yang tidak dikontrol teratur, dll., bisa diubah dengan pola hidup sehat.
Tingginya prevalensi penyakit ginjal, erat kaitannya dengan peningkatan tren kejadian berbagai faktor risiko tersebut. Misalnya saja, dari hasil Riskesdas 2013 ke kondisi Riskesdas 2018, semua faktor risiko penyakit mengalami peningkatan. Diabetes melitus, hipertensi, obesitas, merokok, hingga mengonsumsi alkohol. Selama faktor risiko itu tidak dimodifikasi agar prevalensinya berkurang, selama itu juga, prevalensi PGK akan terus meningkat.
Ginjal Sehat Untuk Semua Orang di Semua Tempat
Hari Jumat, 8 Maret 2019 lalu, insan kesehatan maupun masyarakat umum diajak untuk merayakan Hari Ginjal Internasional (WKD: World Kidney Day). Sebuah lembaga internasional yang mengurusi agenda perayaan WKD tiap tahunnya, kali ini mengusung tema khusus yang dilansir lewat website (worldkidneyday.org): “Kidney Health for Everyone Everywhere.”
Perayaan WKD ini tentunya punya maksud tertentu, khususnya untuk meningkatkan kesadaran akan semakin tingginya beban penyakit ginjal di seluruh dunia dan perlunya strategi untuk pencegahan dan manajemen penyakit ginjal.
Secara khusus, WKD tahun ini menyerukan kepada semua orang untuk mengadvokasi tindakan konkret di setiap negara untuk meningkatkan perawatan ginjal. Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan atau upayakan bersama.
Pertama, dorong dan adopsi gaya hidup sehat (akses ke air bersih, olahraga, diet sehat, pengendalian tembakau). Banyak jenis penyakit ginjal dapat dicegah, ditunda, dan / atau dikendalikan di bawah kontrol ketika ada langkah pencegahan yang tepat.
Langkah paling mudah menerapkan gaya hidup sehat saat ini sudah dikemas begitu ringkas oleh pemerintah (Kementerian Kesehatan RI) dengan program yang dinamakan gerakan masyarakat hidup sehat (Germas). Bila Germas terimplementasi dengan baik, maka hal-hal ganjil yang berisiko merusak ginjal tadi bisa dikurangi secara perlahan.
Kedua, masih ada kaitannya dengan Germas, rutin lakukan pemeriksaan kesehatan minimal 6 bulan sekali. Jadikan skrining dini penyakit ginjal sebagai intervensi kesehatan primer (mis. tes urin dan darah). Bila ada temuan faktor risiko secara dini, maka penanganan yang tepat dan cepat bisa mencegah sampai pada tahap yang lebih rumit, yaitu PGK (Penyakit Ginjal Kronik).
Ketiga, pastikan pasien ginjal menerima layanan kesehatan dasar yang mereka butuhkan (mis. Pengontrolan tekanan darah, kontrol kolesterol, dan obat esensial) untuk menunda perkembangan penyakit tanpa kesulitan keuangan.
Keempat, serukan kebijakan transparan kepada pemerintah yang mengatur akses yang adil dan berkelanjutan ke layanan perawatan kesehatan tingkat lanjut (mis. dialisis dan transplantasi) dan perlindungan finansial yang lebih baik (mis. subsidi) karena semakin banyak sumber daya yang tersedia.
Berbagai seruan dari organisasi seperti di atas memang tampaknya sangat bagus dan mulia. Tapi, apakah mudah dilakukan oleh semua negara bagi masyarakatnya? Semuanya belum tentu. Apalagi untuk wilayah kita Indonesia yang masih banyak ketimpangan di sana-sini.
Sebagai contoh kecil saja, saat membicarakan tentang sumber daya pelayanan penyakit ginjal kronis, kondisinya belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Mesin hemodialisis (cuci darah), paling banyak tersedia di pulau Jawa. Sedangkan di daerah pelosok, bila diketahui mengalami gagal ginjal, biasanya memilih pasrah pada Tuhan saja.
Menyadari masih banyaknya ketimpangan itu, maka mau tidak mau, kita lah yang mesti waspada sendiri. Paling tidak, selalu berusaha menghindari perilaku "ganjil" yang bisa membahayakan ginjal. Sebab, bila ginjal bermasalah, perasaan tidak tenang akan selalu mengganjal.
Penulis: Saverinus Suhardin, S.Kep.,Ns (Mahasiswa Program Magister Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga)
Referensi
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku: Patofisiologi. (E. Yuhda, Ed.) (3rd ed.). Jakarta: EGC.
KemenkesRI. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta. Retrieved from http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin ginjal 2017.pdf
KemenkesRI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta. Retrieved from http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil Riskesdas 2018.pdf
worldkidneyday.org. (2019). 2019 WKD Theme. Retrieved from https://www.worldkidneyday.org/2019-campaign/2019-wkd-theme/