2022-07-26 07:07:19
NERS - Kinerja perawat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) masih belum optimal karena perawat menempatkan pelaksanakan PPI bukan sebagai prioritas dalam tindakan perawatan pasien (Henderson et al., 2020; Ibrahim et al.,2021). Kinerja perawat yang belum optimal dalam pelaksanaan PPI menyebabkan kegagalan dalam program PPI di rumah sakit dan yang disebabkan karena kurangnya dukungan manajemen dan supervisor dalam program PPI (Asmara et al., 2019). Supervisi selama ini tidak berjalan dengan optimal karena supervisi tidak dilaksanakan secara rutin mengakibatkan penurunan kinerja perawat dalam program PPI dan menyebabkan program PPI tidak berjalan dengan efektif (Atashi et al., 2017).
Ketidakefektifan pada kinerja perawat dalam pelaksanaan PPI juga dikarenakan kurangnya motivasi perawat dalam pelaksanaan PPI (N. Qasem & Hweidi, 2017). Kejadian health care−associated infections (HAIs) masih tinggi secara global. Angka kejadian HAIs di rumah sakit Ukrania sebesar 11,3% pada tahun 2016 dimana SSI terjadi sebanyak 60%, HAP sebanyak 18,4%, CAUTIs sebanyak 10,2%, dan CLABSI 10,2% (Salmanov et al., 2019). Hal tersebut tidak jauh berbeda di rumah sakit. Tunisia pada tahun 2017 menunjukkan bahwa kejadian HAIs sebesar 10,9% dengan kasus HAP terbanyak yaitu 36,6%. Kejadian HAIs lebih banyak terjadi pada negaranegara berkembang (Ayed et al., 2019). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah kejadian HAIs yang masih tinggi. Angka kejadian HAIs pada 10 RS umum Pendidikan di Indonesia pada tahun 2017 rata-rata sebesar 9,8% (Pratiwi et al., 2020). Kasus HAIs di RS Haji Surabaya pada tahun 2016 yaitu 0,22% (Agustina, 2017). Kasus HAIs di RS Haji Surabaya pada tahun 2020 mengalami penurunan yaitu 0,03% namun berdasarkan pengumpulan data awal tanggal 6 Juni 2022 yaitu pada tahun 2021 angka HAIs mengalami peningkatan yaitu 0,05%.
Penyebab masih terjadinya HAIs yaitu kurangnya partisipasi perawat dalam menekan kasus HAIs (Rosyida et al., 2021). Upaya rumah sakit untuk menekan kasus HAIs yaitu melalui program pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) (Rosenthal et al., 2022). Kinerja perawat dalam pelaksanaan PPI masih 50% sebagai kategori buruk dan hal ini mengindikasikan kurangnya keterlibatan perawat dalam pelaksanaan program PPI (Asmara et al., 2019). Berdasarkan fenomena tersebut pula, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga melalui Prodi Magister Keperawatan dengan salah satu tagline “Innovation in Caring & Morality”, selalu berupaya menjaga kualitas lulusan yang berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan berbagai inovasi dalam keperawatan serta tetap menjaga aspek moralitas dalam pelayanan kepada masyarakat.
Perawat yang paling sering berinteraksi dengan pasien sehingga peran perawat sangat penting dalam menekan terjadinya HAIs dengan menerapkan pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap tindakan asuhan keperawatan yang dilakukan (Hapsari et al., 2018). Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam pelaksanaan PPI diantaranya yaitu supervisi dan motivasi perawat dalam pelaksanaan program PPI. Pemberian asuhan keperawatan oleh perawat perlu untuk dilakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi dalam suatu kegiatan supervisi klinis agar dapat mempertahankan kualitas pelayanan yang baik bagi semua pasien (Atashi et al., 2017; N. Qasem & Hweidi, 2017). Supervisi yang tidak dapat berjalan dengan rutin akan sulit untuk mengubah perilaku perawat sehingga akan menurunkan kinerja perawat dan kualitas pelayanan rumah sakit (Wagiono & Handiyani, 2019). Pengarahan yang berupa dukungan atau motivasi yang membangun dalam supervisi mampu meningkatan kinerja perawat. Namun sebaliknya bila motivasi tidak diberikan dalam supervisi maka akan menurunkan kinerja perawat (Chaves et al., 2017). Motivasi ARCS yang dikembangkan oleh Keller (2010) merupakan suatu model yang dikembangkan untuk meningkatkan motivasi dalam pembelajaran dan menyelesaikan suatu permasalahan dalam proses pembelajaran. Motivasi ARCS terdiri dari attention, relevance, confidence, dan satisfaction (Daugherty, 2019). Supervisi dalam
keperawatan juga memiliki sifat edukatif yaitu sebagai sarana pembelajaran bagi perawat dalam proses pemberian asuhan keperawatan (Kamalia et al., 2020).
Pelaksanaan supervisi pada tahap pasca supervisi yang menggunakan 3F (Fair, Feedback, dan Follow up) berbasis motivasi ARCS dari teori Keller (2010) diawali dengan supervisor memberikan perhatian (attention) yaitu dengan menarik perhatian perawat yang disupervisi melalui diskusi, demonstrasi, ataupun studi kasus. Perawat dengan beban kerja yang tinggi tidak mempunyai waktu untuk melakukan diskusi, demonstrasi maupun studi kasus. Hal ini menyebabkan ketertarikan perawat untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi akan rendah (Hessels et al., 2019). Relevansi (relanvance) ini untuk menyampaikan tujuan dari supervisi yang dilakukan dan juga tujuan dari pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi. Bila perawat mampu memahami pentingnya pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi maka akan tumbuh rasa percaya diri (confidence) dalam menerapkannya di dalam asuhan keperawatan. Rasa percaya diri (confidence) juga sejalan dengan penguatan, penghargaan, dan dukungan yang diberikan oleh kepala ruangan kepada perawat dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi. Apabila perawat tersebut mampu melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan baik maka akan muncul kepuasaan (satisfaction) dari diri perawat tersebut. Hal ini mampu mendorong perawat untuk terus melakukan pelaksanaan pencegahan pengendalian infeksi dengan baik (Asfaw, 2021; Keller, 2010; Meng et al., 2018).
Penulis : Martha Oktavia Setyaningrum, S.Kep., Ns