2022-10-04 07:28:17
Diare merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba akibat kandungan air di dalam tinja melebihi normal (10ml/kg/hari) dengan peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari (Depkes RI, 2011; Tanto dan Liwang, 2014). Pasien IBS dengan Diare (IBS-D) ditandai diare yang timbul tiba-tiba sebelum, selama atau setelah makan, terutama bila makan terburu-buru; feses cair, defekasi sering (lebih dari tiga kali/hari), nyeri, kembung, urgensi, atau inkontinensia fekal (Jim, 2012). Semua faktor yang disebutkan di atas sebagian besar membenarkan beban psikologis yang tinggi untuk pasien dengan IBD dan IBS (Jones et al., 2009). Kecemasan dan depresi mempengaruhi banyak pasien dengan IBS dan ini sering dikaitkan dengan hasil penyakit yang buruk (Jones et al., 2009).
Kecemasan didorong oleh gejala fisik dan ketakutan yang terkait dengan mengalaminya. Kekhawatiran yang dirasakan pasien tentang inkontinensia pada pasien diare dapat menyebabkan kecemasan dan isolasi sosial (Lenti et al., 2020). Riwayat pengobatan seperti kortikosteroid yang secara luas diresepkan untuk pengelolaan flare, dapat memicu kecemasan dan depresi (Lenti et al., 2020). Diare merupakan kondisi umum dan tidak mengancam jiwa, namun memiliki banyak karakteristik yang membuatnya rentan terhadap stigmatisasi. Stigma, yang didefinisikan sebagai pelabelan sosial individu sebagai abnormal, merupakan konstruksi penting untuk berbagai hasil penyakit kronis (Chapple, Ziebland, & McPherson, 2004). Oleh sebab itu sangat memungkinkan memiliki implikasi untuk manajemen penyakit di IBS. Salah satu faktor risiko stigmatisasi adalah adanya suatu kondisi dengan perjalanan degeneratif atau tidak dapat diubah di mana keparahan gejala dan kontrol yang dirasakan mempengaruhi tingkat penolakan sosial (Crandall & Moriarty, 1995). Gangguan usus secara sosial dapat mengganggu, mengisolasi dan tidak menarik secara estetika, selain itu pasien juga berpotensi menarik diri. Menarik diri merupakan faktor risiko tinggi untuk stigmatisasi, karena dapat menyebabkan tekanan psikologis lebih lanjut karena gangguan sosial dan isolasi. Peningkatan prevalensi psikopatologi komorbid di antara pasien dengan IBS juga dapat berkontribusi pada potensi stigmatisasi (Jones, Crowell, Olden, & Creed, 2007).
Studi tentang ketahanan yang berkembang yang mewakili pergeseran dari pendekatan yang berpusat pada kerentanan dan penyakit dalam populasi yang mencari pengobatan, ke upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempromosikan kesehatan melalui adaptasi positif dan untuk menghargai kompleksitas penuh dari perilaku manusia termasuk kekuatannya (Bennett et al., 1998). Sehingga dapat memungkinkan individu untuk bertahan hidup dan tumbuh meskipun kesulitan. Ketahanan telah ditemukan terkait dengan perubahan struktural di daerah otak yang terlibat dalam proses kognitif dan afektif yang terlibat dalam modulasi stres dan respons emosional (Sasaki, 2003). Keluarga yang tangguh diperkuat melalui penggunaan faktor ketahanan (protektif dan recovery) dalam menghadapi masalahnya (Herdiana, 2019). McCubbin dan McCubbin (1993) mengidentifikasi baik faktor protektif dan faktor recovery sebagai factor yang bekerja secara sinergis dan bergantian untuk merespon masalah hingga berhasil mengatasi krisis atau tantangan yang dihadapi keluarga.
Diare persisten terutama mengenai balita dengan tingkat ekonomi keluarga dan pendidikan ibu yang rendah. Manifestasi klinis diare persisten sering disertai demam, mual, muntah, dengan tinja berlendir atau berdarah. Penyakit lain yang bersamaan dengan diare persisten dapat berupa gizi buruk, alergi susu sapi, infeksi saluran kencing, dan infeksi HIV yang harus kita curigai jika terdapat faktor risiko pada orang tua (Putra et al., 2016). Penderita diare dalam tahap ringan biasanya sembuh dalam durasi dua hingga empat hari dan pada anak bisanya akan lebih lama yaitu lima hingga tujuh hari (Putra et al., 2016). Namun bagi yang mengalami tahap parah dan menunjukan tanda-tanda dehidrasi dianjurkan untuk segera mendapatkan penangan medis (Pediatri et al., 2005).
Oleh karena itu penyakit diare ini dapat dicegah dengan langkah-langkah preventif sebagai berikut: 1) hindari makanan yang terkena sinar matahari langsung; 2) kelola sanitasi dengan baik untuk mencegah pencemaran lingkungan terutama air yang dikonsumsi sehari-hari; 3) terapkan kebiasaan enam langkah mencuci tangan baik itu dilakukan sebelum makan dan setelah selesai melakukan kegiatan, karena penyebaran kuman melalui tangan sangat mudah; 4) hindari mengonsumsi makanan yang terkontaminasi, seperti dihinggapi lalat dan sangat disarankan minum air yang sudah masak; 5) menjaga kebersihan kamar mandi, karena kamar mandi sangat berpotensi terhadap terserangnya diare.