Tuberkulosi, “Penyusup Sejak Zaman Prasejarah”, Dan Upaya Penanggulangan Saat Ini

2022-10-12 07:02:43


Tuberkulosis atau yang biasa kita kenal dengan TBC atau TB diyakini muncul sejak zaman kuno. Sisa kerangka menunjukkan bahwa manusia prasejarah (4000 Sebelum Masehi) mengidap TB. Para peneliti menemukan pembusukan tuberkulosis di dalam tulang spina mumi-mumi Mesir dari tahun 3000–2400 SM. Kendati demikian, tuberkulosis masih belum dapat dikendalikan di berbagai negara meskipun terdapat kemajuan dalam tes diagnostik, ketersediaan pengobatan kuratif yang murah, dan penggunaan vaksin Basil Calmette-Guérin (BCG) yang hampir universal. Sebagai penyakit menular kronis, pengobatan tuberkulosis biasanya membutuhkan waktu yang lama, umumnya setidaknya setengah tahun yang menyebabkan pasien rentan terhadap penghentian pengobatan dan hilang pengamatan (Lost to Follow Up). Dampak dari ketidakpatuhan yaitu penghentian minum obat yang menyebabkan resistensi pasien terhadap obat hingga meninggal
Tuberkulosis dikenal dalam berbagai bahasa kuno yaitu “phtisis” dalam Yunani kuno, “tabes” dalam Romawi kuno, dan schachepheth” dalam Ibrani kuno. Penyebab tuberkulosis yaitu Mycobaterium tuberculosis pertama kali ditemukan pada 24 Maret 1882 oleh Dr. Robert Koch. Pada periode ini, tuberkulosis membunuh 1 dari 7 orang yang tinggal di Amerika dan Eropa. Dan pada tahun 1993 WHO menetapkan tuberkulosis sebagai keadaan darurat kesehatan global. Pada tahun 2019 tuberkulosis berada pada urutan ke 13 penyebab kematian dan berada di peringkat pertama dalam kategori penyakit menular. Sedangkan di tahun 2020, tuberkulosis menempati urutan kedua penyebab kematian setelah COVID-19. Pada tahun 2020, diperkirakan 1,3 juta orang meninggal akibat tuberkulosis dengan 680.000 diantaranya merupakan penderita HIV/AIDS. Jumlah penderita tuberkulosis pada tahun 2020 diperkirakan 9,9 juta dengan 127 kasus per 100.000 populasi dengan penderita terbanyak berada di kawasan Asia tenggara. Indonesia sendiri menempati urutan ke 3 penderita tuberkulosis terbanyak di seluruh dunia (WHO, 2021).
Tanda dan gejala tuberkulosis yaitu batuk ≥ 2 minggu, batuk berdahak, batuk berdahak dapat bercampur darah, dapat disertai nyeri dada,dan sesak napas. Tanda dan gejala lain yang bisa ditemukan pada penderita tuberkulosis yaitu malaise atau kelelahan, penurunan berat badan, menurunnya nafsu makan, menggigil, demam, dan berkeringat di malam hari (Kemenkes RI, 2020a). Pengobatan tuberkulosis dilakukan selama 6 bulan yang bertujuan untuk menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan TB, mengurangi penularan TB kepada orang lain, serta mencegah perkembangan dan penularan resistan obat. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat, mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi , diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas menelan obat) sampai selesai masa pengobatan, pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Pengobatan tuberkulosis yang dilakukan selama 6 bulan, menyebabkan pasien rentan untuk menghentikan pengobatan maupun hilang selama pengobatan (lost to follow up). Strategi yang ditetapkan WHO yaitu “End Tuberculosis” yang merupakan bagian dari Sustainable Development Goals yang bertujuan untuk mengakhiri epidemi tuberkulosis di seluruh dunia. Visi dari strategi tersebut yaitu dunia bebas tuberkulosis dengan zero death, disesase, dan suffering due to tuberculosis (WHO, 2021). Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020-2024 dilaksanakan dengan enam strategi, yakni (Kemenkes RI, 2020b):
Strategi 1. Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi tuberkulosis 2030.
Strategi 2. Peningkatan akses layanan tuberkulosis bermutu dan berpihak pada pasien.
Strategi 3. Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan tuberkulosis serta pengendalian infeksi.
Strategi 4. Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis, dan tatalaksana Tuberkulosis.
Strategi 5. Peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multisektor lainnya dalam eliminasi tuberkulosis.
Strategi 6. Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan.
Masalah yang sering ditemukan pada upaya penanggulangan penyakit tuberkulosis yaitu kepatuhan pasien selama menjalani pengobatan. Intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pasien tuberkulosis semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Intervensi untuk meningkatkan kepatuhan memanfaatkan teknologi saat ini seperti pengingat melalui pesan singkat atau SMS Reminder, Video Directly Observed Therapy (VDOT) dan Electronic Pillbox diaktifkan Self-Administered Therapy (SAT). Prosedur SMS Reminder adalah, petugas mengirimkan pesan yang berisi motivasi dan pengingat minum obat untuk meningkatkan kepatuhan. SMS dikirim ke pasien TB setiap hari atau setiap dua hari selama hingga 6 bulan pengobatan. Sementara itu, VDOT menggunakan aplikasi yang dikembangkan sebelumnya. VDOT menggunakan aplikasi untuk merekam video saat pasien minum obat dan saat pasien membutuhkan konseling. Jika pasien belum mengunggah video tersebut, pengawas obat mengirimkan SMS setiap hari sebagai pengingat. Electronic Pillbox merupakan perangkat untuk mengukur kepatuhan pasien dan konsultasi efek samping (Ardiana et al., 2022).
Intervensi konvensional terdiri dari hipnosis, peer group support, intervensi edukatif, dan model HAPA. Hipnosis dilakukan dalam bentuk hipnoterapi yang dilakukan oleh seorang hipnotis selama 1 sesi per minggu selama 6 bulan. Intervensi edukasi dilakukan dalam 3 sesi yang berupa memberikan informasi tentang tuberkulosis; pengobatan; dan perawatan kesehatan primer terdekat, monitor bulanan melalui telepon untuk mengevaluasi pengobatan pasien dan pengetahuan tentang penyakitnya serta setiap tiga bulan, pasien pergi ke klinik perawatan kesehatan primer untuk mengevaluasi kemajuan pengobatan dan kepatuhan pasien. Dukungan peer group diberikan selama 30-45 menit meliputi check-in, sharing masalah, sharing ide, perencanaan, implementasi, dan closing. Dan yang terakhir Model HAPA terdiri dari 3 fase: pendidikan kesehatan untuk keluarga dan pasien, psikoterapi, dan intervensi untuk meningkatkan manajemen diri (Ardiana et al., 2022).
Beberapa intervensi telah dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan dan manajemen diri pada pasien tuberkulosis, yang sebagian besar terdiri dari kombinasi beberapa intervensi seperti pendidikan kesehatan, psikoedukasi, dan terapi perilaku. Program multikomponen mencakup beberapa intervensi seperti perubahan perilaku, dukungan sosial dan keluarga, terapi berbasis computer dan teknologi, konseling pasien dan keluarga, teknologi berbasis web yang inovatif menjadi klinik dan metode SIMPLE untuk meningkatkan koordinasi dan kepatuhan perawatan. Metode SIMPLE terdiri dari “Menyederhanakan rejimen pengobatan, Menanamkan pengetahuan tentang penyakit, Mengubah keyakinan dan perilaku pasien, Memberikan komunikasi dan kepercayaan, dan Meninggalkan bias” (Ardiana et al., 2022)


KIRIM TULISAN
<