INFORMASI TEST ELPT (KLIK DISINI)

Mendeteksi Dini Kanker dan Mencari Solusinya Ketika Positif

  • By
  • In Lihat
  • Posted 18 February 2020
×

Warning

JUser: :_load: Unable to load user with ID: 734

Selama bulan Februari, kita merayakan dua hari khusus yang berkaitan dengan kanker. Hari Kanker Sedunia (HKS) yang jatuh pada tanggal 4 Februari, kemudian disusul dengan peringatan Hari Kanker Anak Sedunia (HKAS) pada tanggal 15 Februari. Bila kita telusuri lebih jauh lagi, tenyata pada 11 April juga masih ada hari peringatan tentang kanker, yaitu Hari Kanker Tulang (HKT).

Beberapa fakta tentang peringatan hari khusus tersebut saja sudah menunjukkan kalau kanker merupakan masalah serius yang dihadapi masyarakat dunia saat ini. Bagaimana tidak, sesuai dengan laporan Organisasi Kesehatan Dunia yang terbaru, beban penyakit kanker saat ini sangat besar dan diprediksi akan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Satu dari enam kematian di dunia saat ini disebabkan karena kanker. Data tahun 2018 ada 18,1 juta penderita kanker di seluruh dunia, di mana 9,6 juta dari jumlah tersebut telah meninggal dunia. Pada tahun 2040 nanti, jumlahnya diprediksi akan terus bertambah hingga mencapai 29,4 juta penderita (WHO, 2020). Di Indonesia juga mengalami tren yang sama. Pada  Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mengalami peningkatan sebesar 0,4 persen per 1.000 penduduk bila dibandingkan Riskesdas sebelumnya pada tahun 2013 (KemenkesRI, 2018).

Kanker bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Tidak memandang jenis kelamin, SARA (suku, agama, ras, antargolongan), kaya-miskin, warna kulit, dan perbedaan lainnya. Kita semua punya potensi yang sama mengalami masalah pertumbuhan sel yang tidak terkontrol tersebut.

Peluang terjadi kanker makin besar bila kita menjalani gaya hidup yang telah terbukti menjadi faktor risikonya seperti kebiasaan merokok, tidak melakukan vaksinasi Human Papilloma Virus (HPV) dan Hepatitis B, mengalami kegemukan atau obesitas, mengonsumsi alkohol dan keseringan terpapar dengan polusi udara.

Bila seseorang telah terkena kanker, dampaknya meliputi semua aspek kehidupan manusia. Mulai dari keluhan fisik seperti nyeri, kemudian berdampak pula pada psikologisnya, kegiatan sosial, bahkan yang berhubungan dengan spiritual pun ikut terganggu. Efek tersebut tidak hanya berlaku pada pasien secara individu, keluarganya pun ikut terdampak mengingat peran mereka sangat besar selama proses perawatan (Wulandari, Hermayanti, Yamin, & Efendi, 2017).

Menyadari ancaman tersebut, kita semua harus siap sedia menghadapinya. Tanpa memandang tinggi-rendahnya kemampuan, kita semua mempunyai peran untuk berpastisipasi melawan kanker mulai dari tahap pencegahan, skrining untuk deteksi dini, penatalaksaan dan perawatan.

Harapan itu sejalan dengan tema yang diusung HKS sejak 2019 hingga 2021 mendatang, yaitu I Am and I Will. Selama tiga tahun berturut-turut, perayaan hari kanker didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atau kita semua akan peran tersebut. Setiap orang punya tanggung jawab yang sama untuk mendukung satu sama lain dalam menghadapi kanker. Tulisan ini lebih menekankan peran kita dalam proses deteksi dini dan bagaimana mencari pertolongan yang tepat bila dinyatakan positif terkena kanker.

Deteksi Lebih Cepat, Tangani Lebih Tepat

Selain melakukan tindakan pencegahan dengan menjalani pola hidup sehat seperti yang disinggung sebelumnya, WHO juga menyarankan agar aktif melakukan deteksi dini, baik secara pribadi maupun kelompok lewat kegiatan skrining yang dilakukan pemerintah. Semakin diketahui lebih cepat dan ditangani lebih tepat, tingkat pemulihannya makin tinggi.

Kanker pada umumnya diawali dengan munculnya tumor atau benjolan yang bisa teraba dari luar tubuh. Menyadari adanya benjolan ini bisa dilakukan secara mandiri, sebab hanya bermodalkan indera peraba saja. Contohnya pemeriksaan “Sadari” pada payudara, kita bisa lakukan pemeriksaan adanya benjolan atau tidak.

Bila ditemukan adanya benjolan yang tidak seperti biasanya, entah di payudara maupun area tubuh yang lain, maka sebaiknya segera ke fasilitas kesehatan untuk periksa lebih jauh, apakah benjolan atau tumor itu bersifat jinak atau ganas. Jika masih jinak, biasanya dianjurkan untuk segera dioperasi, supaya tidak berkembang menjadi tumor ganas atau yang disebut sebagai kanker.

Benjolan atau tumor jinak yang dioperasi lebih cepat, biasanya tidak lagi menimbulkan dampak lanjutan. Tapi bila dibiarkan lebih lanjut, kemudian selnya bertumbuh tidak terkontrol atau bersifat ganas (kanker) dan menyebar ke bagian tubuh yang lain, biasanya setelah benjolannya dioperasi, tetap dilakukan terapi lain seperti kemoterapi, radioterapi, dan lainnya untuk menghambat atau mematikan sel ganas tersebut. Itulah alasan kenapa sebaiknya, “lebih cepat, lebih baik.”

Di beberapa puskesmas saat ini telah memfasilitasi pemeriksaan awal terhadap kanker, khususnya untuk mendeteksi kanker leher rahim (serviks) dengan melakukan tes IVA. Selain itu, bila kita mengamati informasi di berbagai media massa, saat ini juga sudah banyak lembaga pemerintah maupun swasta, menyelenggarakan pemeriksaan IVA secara massal dan tentu saja gratis, pada perayaan hari besar tertentu. Jadi, modal kita hanya mendengar atau mencari informasi, kemudian datang ke lokasi kegiatan tanpa harus terbebani dengan biaya. Kenapa kita tidak manfaatkan peluang baik tersebut, bukan?

Selanjutnya, bila setelah pemeriksaan awal itu Anda dinyatakan memiliki tumor atau hasil pemeriksaan awal yang perlu dipastikan dengan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan sel tersebut ganas atau tidak, apakah yang akan dilakukan?

Bila kita mempelajari pola reaksi orang tua ketika pertama kali tahu anaknya mengalami tumor/kanker melalui penelitian Hermalinda, Rustina, & Novieastari (2015) di RSCM Jakarta, pada umumnya mereka melakukan tiga hal berikut ini: Membiarkan keluhan anak untuk sementara waktu, membawa anak ke pengobatan tradisional atau alternatif, dan mencari bantuan pelayanan kesehatan.

Hal yang kurang lebih sama juga didapati oleh peneliti Rosnani (2013), ketika seseorang mengidap kanker, maka respons atau cara untuk melawan stres biasanya dengan melakukan penolakan atau merasa tidak percaya dengan hasil diagnosis, kemudian lebih banyak memohon atau berserah pada Tuhan yang diimaninya, sambil mencari pendapat lain dari petugas kesehatan lain, mendiskusikannya dengan keluarga, mencari pengobatan alternatif dan petunjuk dokter.

Meski penelitian tersebut di atas belum bisa digeneralisasi atau disamaratakan dengan semua orang, tapi seandainya kita perhatikan lingkungan sekitar dengan jujur, selama ini pola kita menghadapi masalah kanker kurang lebih sama.

Bila kita mengetahui adanya tumor kecil di bagian tubuh, biasanya dibiarkan dulu sambil berharap sembuh atau hilang dengan sendirinya. Bila tumor semakin besar dan timbul rasa sakit/nyeri, barulah kita mencari solusi.

Kalau saat itu langsung ke pusat layanan kesehatan kanker, barangkali masih akan lebih baik. Tapi andaikata saat itu bertemu dengan orang yang menawarkan pengobatan alternatif dengan janji yang muluk-muluk, --seperti misalnya, “Obat kami bisa menyembuhkan kanker tanpa efek samping— sudah pasti kita akan tergiur dan rela membayar berapa saja.

Bukan bermaksud merendahkan atau menganggap pengobatan altenatif, --apalagi yang berbasis pengobatan tradisonal asli Indonesia— itu tidak bermanfaat sama sekali. Sekali lagi, tidak berarti kita tidak boleh memanfaatkan kekayaan atau keragaman budaya atau kemampuan pengobatan tradisional yang kita miliki.

Hal yang dikhawatirkan adalah, adanya oknum tertentu yang mencari keuntungan pribadi, kemudian mengumbar iklan dengan embel-embel ramuan herbal atau resep tradisional, tetapi sesungguhnya belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Akibatnya, penyakit malah memburuk. Saat itulah baru kita menyadari telah keliru, kemudian kembali lagi ke pelayanan kesehatan (rumah sakit). Sayangnya, bila kankernya telah berada pada stadium yang lebih lanjut, proses penanganannya akan lebih rumit.

Pengalaman tentang penggunakan obat alternatif juga tergambar dalam penelitian Hermalinda,dkk., seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ternyata hampir semua pastisipan yang pernah mencari pengobatan alternatif untuk kanker, mengakut tidak membawa perubahan yang baik. Belajar dari pengalaman nyata tersebut, semua partisipan juga mengaku jera atau menyesal telah menggunakan pengobatan alternatif.

Sebagai gambaran, berikut ini kutipan pertanyataan langsung dari seorang partisipan: “...pelajarannya sih ini ya.. apa sih, jangan sembarangan gitu.. sekarang kan orang kasi apa ini.. ayo, orang kasi apa ayo, sekarang sih percaya deh ama dokter.. kan dokter yang udah banyak ininya.. alternatif sih bagus, cuman kalau dicampur-campur gitu kayaknya aduh saya udah ga berani lagi.. keluar darahnya itu.. ga usah dengar-dengar deh kata orang...”

Kemudian, seorang partisipan lain mengungkapkan pernyataan yang kurang lebih sama: “...kalau ada.. kalau.. saya sih, kalau ada penyakit gitu.. tumbuh, cepat-cepatlah diobatkan sama periksakan, kalau kata dokternya operasi ya dioperasi,..”

Belajar dari pengalaman orang tersebut yang didata lewat proses penelitian yang memegang pripsip kejujuran, maka sebaiknya kita lebih waspada terhadap berbagai tawaran yang muluk-muluk dan semakin bijak membuat keputusan.

Mengenai pengobatan tradisional yang menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia, sejatinya tidak dilarang dalam proses perawatan kanker. Di rumah sakit ataupun fasilitas kesehatan resmi lainnya, sudah ada yang namanya perawatan paliatif.

Perawatan paliatif ini juga direkomendasikan oleh WHO. Isinya merupakan kumpulan terapi tradisional atau terapi komplementer (pelengkap) yang dimaksudkan untuk mendukung pengobatan utama kanker seperti operasi, kemoterapi, radioterapi, dan sebagainya. Sekali lagi, sifatnya sebagai pendukung saja, bukan menggantikan pengobatan yang utama.

Kabar baiknya lagi, baik pengobatan utama maupun pengobatan komplementer dalam perawatan paliatif tersebut sudah melalui penelitian yang baik. Sehingga, kita bisa mendapatkan terapi terbaik yang berbasis bukti hasil penelitian.

Memang perawatan medis tidak selalu menyembuhkan secara sempurna. Mereka juga (pelayan kesehatan profesional), jarang sekali bahkan tidak pernah menjanjikan sesuatu yang muluk-muluk seperti penjual obat bebas di luar sana. Mereka biasanya hanya akan mengatakan kurang lebih seperti ini, “Kami berupaya semaksimal mungkin, biarlah Tuhan yang akan menyempurnakannya.”

Berbagai hasil penelitian terkait pengobatan dan perawatan telah banyak dilakukan. Beberapa hal yang perlu kita ketahui, antara lain menyangkut tentang pentingnya peran keluarga dalam mendukung kesuksesan proses pengobatan kanker (Yaner, Sukartini, Kristiawati, & Maulana, 2019); perlu mencari layanan bantuan di masyarakat seperti Palliative Community Health Nursing atau perawatan paliatif yang ada di lingkungan karena terbukti efektif memandirikan kemandirian keluarga dalam merawat penderita kanker di rumah (Ulfiana, Has, & Rachmawati, 2013); dengan mendatangi layanan seperti itu, kita bisa mendapatkan paket edukasi yang terbukti baik untuk menurunkan keluhan fisik dan psikis (Triharini, 2009).

Khusus yang berkiatan dengan perawatan paliatif, beberapa terapi pendukung juga terbukti mampu untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kanker. Sebut saja ada Acceptance and Commitment Therapy atau ACT, sebuah terapi psikologis yang mempu meningkatkan kualitas hidup pasien kanker (Suhardin, Kusnanto, & Krisnana, 2016)dan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) bisa menurunkan stres yang dialami oleh pasien kanker yang menjalani kemoterapi (Desmaniarti & Avianti, 2014); dan masih banyak terapi pendukung lainnya.

Semoga dengan merayakan hari khusus yang berkaitan dengan kanker ini, kita makin mau dan mampu untuk melakukan upaya pencegahan, aktif melakukan pemeriksaan dini, dan menjalani perawatan yang terbukti baik.

 

Oleh: Saverinus Suhardin, S.Kep.,Ns

(Perawat Kesehatan Komunitas FKp Unair)

 

Sumber Bacaan

Desmaniarti, Z., & Avianti, N. (2014). Spiritual Emosional Freedom Technique (SEFT) Menurunkan Stres Pasien Kanker Serviks. Jurnal Ners9(1), 91–96.

Hermalinda, Rustina, Y., & Novieastari, E. (2015). Pengalaman Orang Tua dalam Penggunaan Pengobatan Alternatif pada Anak yang Menderita Kanker di Jakarta. Jurnal Ners10(1), 61–73.

KemenkesRI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Retrieved from http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/Hasil Riskesdas 2018.pdf

Rosnani. (2013). Coping Mechanism of Career Women with Breast Cancer. Jurnal Ners12(1), 81–87.

Suhardin, S., Kusnanto, & Krisnana, I. (2016). Acceptance and Commitment Therapy (ACT) Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Kanker. Jurnal Ners11(1), 118–127.

Triharini, M. (2009). Paket Edukasi Menurunkan Keluhan Fisik dan Psikologis Pasien Kanker Serviks dengan Kemoterapi. Jurnal Ners4(1), 50–55.

Ulfiana, E., Has, E. M. M., & Rachmawati, P. D. (2013). Pengembangan Palliative Community Health Nursing (PCHN) untuk Meningkatkan Kemandirian Keluarga dalam Merawat Penderita Kanker di Rumah. Jurnal Ners8(2), 309–316.

WHO. (2020). WHO Report on Cancer: Setting Priorities, Invensting Wisely and Providing Care for All. Retrieved from http://apps.who.int/iris.

Wulandari, S. K., Hermayanti, Y., Yamin, A., & Efendi, F. (2017). Family Process with Breast Cancer Patient. Jurnal Ners12(2), 180–186.

Yaner, N. R., Sukartini, T., Kristiawati, K., & Maulana, M. R. (2019). Family Support Required to Increase Compliance of Medical Control of Patients with Cancers. Jurnal Ners14(3), 331–335. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.20473/jn.v14i3(si).17177

Pin It
Hits 942

Berita Terbaru