INFORMASI TEST ELPT (KLIK DISINI)

Stigmatisasi Kesehatan Mental: Lawan atau Menghalangi Kesembuhan

  • By
  • In Lihat
  • Posted 05 September 2020
×

Warning

JUser: :_load: Unable to load user with ID: 737

Perkembangan terapi dan penanganan terhadap orang yang mengalami gangguan mental semakin meningkat. Sejak peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada Oktober 2019, diketahui bahwa kesadaran masyarakat di Indonesia dalam menyikapi isu terkait kesehatan mental juga meningkat. Namun, terlepas dari semua perkembangan pengobatan maupun sikap mengenai isu kesehatan mental, hanya sekitar setengah dari orang dengan masalah kesehatan mental, atau yang biasa disebut dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), yang memutuskan untuk mendapatkan perawatan dan pertolongan dari penyedia layanan kesehatan jiwa.

Ada banyak alasan mengapa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memutuskan untuk tidak mendapatkan perawatan, terlepas dari biaya dan kurangnya akses ke penyedia layanan kesehatan mental. Namun alasan utama mereka tidak mencari pengobatan, sekalipun mereka mampu mengakses pelayanan kesehatan jiwa, adalah stigma masyarakat.

Persepsi negatif pada ODGJ yang masih banyak terjadi, sebagian besar berasal dari orang-orang yang tidak memahami tentang apa itu penyakit mental atau apa artinya berjuang dengan penyakit mental. Stigma penyakit mental dapat menyebabkan perasaan malu dan dapat berdampak negatif pada usaha penanganan, deteksi dini dan pencegahan terhadap masalah kesehatan mental. Bahkan sebuah penelitian di Kebumen, Jawa Tengah oleh Asti, dkk (2016) menyimpulkan bahwa stigma yang diperoleh ODGJ akan mempengaruhi peluang kesembuhan dan tingkat kekambuhan mereka.

Bahkan, sebuah studi di Inggris menyatakan bahwa stigma terhadap orang dengan gangguan mental sudah meluas, sampai ke tenaga kesehatan. Penelitian ini menunjukkan, dari hasil pembagian kuesioner kepada tenaga kesehatan dari empat rumah sakit di Inggris, sebanyak 75 persen tenaga kesehatan yang mengisi kuesioner memiliki pandangan bahwa pasien narkotika berbahaya, 64 persen menyatakan pasien di bawah pengaruh candu alkohol berbahaya, dan 66 persen menganggap pasien dengan skizofrenia berbahaya.

Faktor penyebab munculnya stigma pada ODGJ di kalangan tenaga kesehatan belum diketahui secara pasti. Padahal, jika dipikir, kelompok ini jelas punya edukasi lebih masalah kesehatan mental. Mereka juga kelompok kunci yang memegang peranan dalam melawan stigma serta memberikan edukasi tentang kesehatan jiwa. Apabila tenaga kesehatan saja memiliki stigma tertentu pada orang dengan masalah kesehatan mental, apalagi masyarakat yang tidak mendapat edukasi tentang kesehatan mental?

Beberapa usaha yang dapat kita lakukan untuk menghadapi stigmatisasi terhadap ODGJ dari Depression Center University of Michigan yang pertama adalah meluruskan persepsi bahwa gangguan kesehatan mental sama seperti penyakit diabetes atau kanker yang perlu ditangani dengan seksama. Jika penderita diabetes harus mengambil langkah harian untuk memantau dan mengontrol kadar gula darah, orang dengan gangguan kesehatan mental seperti depresi juga harus mengambil tindakan untuk memantau dan mengontrol gejala gangguan jiwa yang ada.

Kedua, berbagi cerita tentang penyakit mental atau pemulihan dari penyakit mental untuk menghapus stereotip bahwa orang dengan penyakit mental itu merugikan, karena hal tersebut tidak benar. Cerita dan berbagi pengalaman tentang kesehatan mental juga dapat mendorong orang lain yang sedang menghadapi masalah kesehatan mental untuk berbicara dan mencari bantuan.

Ketiga, membagikan pesan positif tentang kesehatan mental. Media sosial dapat digunakan untuk mendiskusikan isu kesehatan mental, menunjukkan dukungan kepada orang lain yang melakukan kampanye kesehatan mental, untuk berbagi informasi yang sah tentang penyakit mental dan perawatannya.

Keempat, meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan mental bagi diri sendiri dan orang lain. Karena dengan demikian dapat meningkatkan awareness, mengurangi stigma dan membantu menyediakan lingkungan positif bagi orang dengan penyakit jiwa.

Kelima, selalu sadar akan pilihan kata dan bahasa yang digunakan. Hindari menggunakan kata-kata dan label yang menyakitkan seperti menyebut seseorang "gila", "tidak waras", atau "aneh" ketika berbicara pada diri sendiri maupun orang lain terutama mereka yang menderita penyakit mental. Contohnya, ganti sebutan "orang yang sakit jiwa", menjadi "orang dengan penyakit mental". Tegur seseorang yang menggunakan bahasa atau ungkapan berbahaya tersebut.

Keenam, mengenali identitas seseorang tanpa memandang penyakitnya, karena diagnosis penyakit mental mereka mereka bukanlah faktor yang menentukan identitas mereka.

Ketujuh, mendukung organisasi kesehatan mental lokal dan nasional serta menjadi bagian dari komunitas yang melakukan kampanye kesehatan mental dan memberi bantuan bagi ereka yang mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini menunjukkan dukungan bagi orang dengan permasalahan kesehatan mental.

Kedelapan, membiasakan diri untuk berbicara. Jika mengetahui atau mencurigai bahwa seseorang mungkin berada dalam krisis atau sedang berjuang dengan kesehatan mentalnya, kirim pesan dukungan dan bantu mereka mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Seperti ketika melihat seseorang memposting status di media sosial yang menunjukkan tanda-tanda menyakiti diri sendiri. Hubungi mereka atau seseorang yang mengenal mereka untuk memberikan dukungan dan mencegah perbuatan merugikan yang mungkin mereka lakukan.

 

Sumber:
Asti, dkk. (2016). Public Stigma terhadap Orang dengan Gangguan Jiwa di Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan Vol. 12 No.3 hlm. 176-188, Oktober 2016.
Hartini, N., et al. (2018). Stigma toward people with mental health problems in Indonesia. Psychology research and behavior management, 11, 535–541. https://doi.org/10.2147/PRBM.S175251
H. Rao, et al. (2009). A Study of Stigmatized Attitudes Towards People with Mental Health Problems among Health Professionals. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing, Vol. 16 Issue 3.https://doi.org/10.1111/j.1365-2850.2008.01369.x (diakses 27 Agustus 2020 pukul 19.40 WIB)
Knaak, S., Mantler, E., & Szeto, A. (2017). Mental Illness-Related Stigma in Healthcare: Barriers to Access and Care and Evidence-Based Solutions. Healthcare Management Forum, 30(2), 111–116.https://doi.org/10.1177/0840470416679413 (diakses pada 27 Agustus 2020 pukul 19.58 WIB)
Rio Tuasikal - VoA Indonesia. Kesehatan Jiwa: Indonesia Makin Sadar tapu Terganjal Stigma. 16 oktober 2019 https://www.voaindonesia.com/a/kesehatan-jiwa-indonesia-makin-sadar-tapi-terganjal-stigma/5125203.html (diakses pada 26 Agustus 2020 pukul 21.13 WIB)
Schnyder, N., Panczak, R., Groth, N., & Schultze-Lutter, F. (2017). Association between mental health-related stigma and active help-seeking: systematic review and meta-analysis. The British Journal of Psychiatry, bjp-bp.
Website:
University of Michigan Depression Center. Fight Stigma and Support Mental Health https://www.depressioncenter.org/


Kontributor : Kelompok 1,4 PKK 3
Editor : Titis Nurmalita Dianti (Airlangga Nursing Journalist)

Pin It
Hits 2414

Berita Terbaru