INFORMASI TEST ELPT (KLIK DISINI)

Tatalaksana Pasien dengan HIV yang Disertai Infeksi Oportunistik Pneumocystis Carini Pneumonia (PCP)

  • By
  • In Lihat
  • Posted 29 November 2020
×

Warning

JUser: :_load: Unable to load user with ID: 735

Apa itu HIV dan Infeksi Oportunistik ?

HIV (human immunodeficiency virus) merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, dengan menyerang sel CD4. Semakin banyak sel CD4 yang dihancurkan, kekebalan tubuh akan semakin lemah, sehingga rentan diserang berbagai penyakit. Sedangkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus Human Immunodeficiency Virus(HIV). HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, khususnya di Indonesia. Jumlah kasus HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun.HIV umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dan cairan tubuh yang mengandung HIV.

Dalam tubuh, kita membawa banyak kuman – bakteri, protozoa (binatang bersel satu), jamur dan virus. Sistem kekebalan tubuh yang sehat mampu mengendalikan kuman ini. Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau beberapa obat, kuman ini mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah kesehatan. Infeksi yang mengambil kesempatan dari kelemahan dalam pertahanan kekebalan disebut “oportunistik”. Kata “infeksi oportunistik” sering kali disingkat menjadi “IO”. Infeksi oportunistik merupakan penyebab kematian utama pada 90% penyandang AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Peningkatan masif kematian akibat infeksi oportunistik meningkatkan angka mortalitas penyandang AIDS.

Salah satu IO yang paling banyak ditemukan pada penderita HIV/AIDS adalah Pneumonia Pneumocystis Carinii (PCP) merupakan infeksi oportunistik yang sering dijumpai dan menyebabkan kematian pada penyandang AIDS (80%).

Apa itu Pneumocystis Carini Pneumonia (PCP) ?

Pneumocystis Carini Pneumonia (PCP) atau Pneumocystis jirovecii pneumonia merupakan infeksi oportunistik (IO) yang dapat terjadi pada pasien dengan gangguan sistem imun seperti Kelainan imunitas bawaaan, Penyakit autoimun, kemoterapi, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), Pasien kanker, Pasien penerima donor organ, misalnya ginjal atau hati, Pasien lansia. Pada pasien dengan HIV, PCP merupakan infeksi oportunistik tersering terutama pada pasien dengan CD4 kurang dari 200 sel/ul. Diagnosis PCP sangat sulit dilakukan karena gejala, pemeriksaan darah, serta radiografi toraks tidaklah patognomonik untuk PCP. Namun, PCP yang tidak ditangani hampir selalu berakibat fatal. Selain itu, Pneumocystis jirovecii tidak dapat dikultur sehingga diperlukan pemeriksaan histopatologi atau sitologi, cairan dari broncho-alveolar lavage (BAL) atau sampel dari induksi sputum (dahak) untuk mendiagnosis PCP secara definitif. Walalupun terdapat hambatan tersebut, deteksi kasus PCP sedini mungkin harus tetap dilakukan agar dapat segera ditangani dan mencegah kematian.

Apa saja Faktor Resiko PCP ?

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang dengan HIV sangat berisiko untuk terinfeksi PCP antara lain :

- Jumlah limfosit T CD4 kurang dari 14%, adanya riwayat infeksi PCP sebelumnya
- Kandidiasis oral
- Pneumonia bakteri yang berulang
- Penurunan berat badan dan kadar viral load HIV yang tinggi (Caceres et al., 2015)
- Jumlah sel CD4+ < 200 sel/L
- Demam persisten
- Status gizi buruk
- Penyakit penyerta seperti penyakit jantung bawaan

Bagaimana Pengobatan pada pasien PCP ?

Pengobatan PCP dapat menggunakan Trimetroprim-sulfametoksazole (TMX-SMX) oral atau intravena selama 21 hari. Pada PCP derajat sedang-berat (PaO2<70 mmHg) direkomendasikan trimetroprim-sulfametoksazole intravena. Rekomendasi dosis untuk terapi PCP adalah 15-20 mg/kg trimetroprim per hari dan 75-100 mg/kg sulfametoksazole per hari yang terbagi menjadi tiga atau empat dosis.

Pada pasien PCP dengan HIV, respon terapi biasanya muncul lebih lama namun harus terjadi dalam delapan hari pertama. Apabila hal tersebut tidak terjadi, maka perlu dicari diagnosis alternatif atau regimen alternatif. Pada PCP derajat berat direkomendasikan untuk memberikan kortikosteroid sistemik dalam 72 jam pertama memulai terapi PCP. Kortikosteroid sistemik perlu diberikan jika PaO2<70 mmHg atau gradien oksigen alveolar-arteri lebih dari 35 mmHg. Dosis kortikosteroid yang diberikan adalah prednisolone 40 mg dua kali sehari per oral pada hari ke 1-5 kemudian 40 mg satu kali sehari pada hari ke 6-10. Dilanjutkan dengan prednisolone 20 mg satu kali sehari pada hari ke 11-21. Pada pasien yang sebelumnya telah mendapatkan profilaksis TMX-SMX atau gagal terapi atau alergi dengan TMX-SMX, terdapat beberapa pilihan tatalaksana alternatif.

Untuk PCP berat, alternatifnya adalah dapat diberikan clindamisin 600mg empat kali per hari, intravena atau oral dan primakuin 15mg satu kali per hari, oral atau pentamidine 3-4mg/kg satu kali per hari, intravena untuk 21 hari. Sedangkan untuk PCP ringan-sedang dapat diberikan TMX 20mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga atau empat, oral dan dapsone 100 mg satu kali per hari, oral selama 21 hari atau atorvaquone cairan suspensi 750mg dua kali per hari, oral selama 21 hari.

Bagaimana Cara Mencegah pasien HIV Terinfeksi PCP ?

Pencegahan pasien HIV terinfeksi PCP dapat diupayakan dengan mengisolasi pasien HIV yang rentan dari individu yang menderita PCP walaupun keefektifannya belum diketahui. Kemoterapi telah terbukti mencegah terjadinya PCP dan memperpanjang kelangsungan hidup pada pasien HIV. Pemberian profilaksis primer juga dibutuhkan agar CD4 dapat ter maintain. Kotrimoksazol forte (960 mg) PO satu tablet perhari merupakan agen profilaksis pilihan. Agen ini lebih efektif dibandingkan agen lainnya dan dapat ditoleransi dengan baik. Profilaksis terhadap PCP dapat dihentikan dengan aman bila pasien telah menunjukkan respon terhadap ART dengan jumlah CD4+ yang meningkat >200 sel/µL paling sedikit selama 3 bulan. Profilaksis harus diberikan kembali bila jumlah limfosit T CD4+ selanjutnya turun di bawah kadar tersebut.

Oleh:
Pembimbing: Dr. Ninuk Dian K., S.Kep.Ns., MANP.
Penulis: Kelompok 1 A3-2018

Sumber :

Agustina, Dewi Rizki; Efiyanti, Christy; Yunihastuti, Evy; Ujainah, Anna; Rozaliyani, Anna. 2017.Diagnosis dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)/Pneumocystis Jirovecii Pneumonia pada pasien HIV. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol 4, No.4

Gunawan, Y. T., & Prasetyowati, I. (2016). Hubungan Karakteristik ODHA Dengan Kejadian Loss To Follow Up Terapi ARV. Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 .

Hidayati, A. N. (2020). Manajemen HIV/AIDS: Terkini, Komprehensif, dan Multidisiplin. Airlangga University Press.

Hidayat, R. P. (2018). Hubungan Faktor Risiko Status Gizi dan Penyakit Jantung Bawaan Terhadap Derajat Keparahan Pneumonia Pada Balita di Laboraturium Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Saiful Anwar Malang (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).

Putu A. (2015). Penatalaksanaan Dan Pencegahan Infeksi Oportunistik Yang Tersering Pada Penderita Hiv Di Indonesia. Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/50dfe6557b9dd498968e02634cbaf235.pdf. Diakses pada 17 November 2020, pukul 23.40 WIB

Tjampakasari, C. R. (2018). Infeksi Jamur Oportunistik Pneumocystis jirovecii. Cermin Dunia Kedokteran, 45(12), 917-921.

World Health Organization. Immunization coverage. WHO. 2018

Pin It
Hits 7257

Berita Terbaru