INFORMASI TEST ELPT (KLIK DISINI)

Tatalaksana pada Pasien HIV dengan Penyakit Penyerta TBC

  • By
  • In Lihat
  • Posted 29 November 2020
×

Warning

JUser: :_load: Unable to load user with ID: 735

HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain (WHO, 2015). Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang didapat dan disebabkan oleh infeksi HIV. Kumpulan gejala tersebut diantaranya disebabkan masuknya mikroorganisme seperti infeksi bakteri, virus dan jamur ke dalam tubuh, bahkan timbulnya keganasan akibat menurunnya daya tahan tubuh penderita (Murtiastutik, 2008). Berbeda dengan pengertian dari HIV/AIDS, Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau kuman. Umumnya TB akan menyerang paru- paru tetapi juga dapat menyerang bagian tubuh lain, seperti otak, ginjal atau tulang punggung.

Pada orang dengan sistem imunitas yang menurun misalnya Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), infeksi tuberkulosis (TB) laten mudah berkembang menjadi TB aktif. Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB (laten) akan menjadi TB aktif. Maka dapat dikatakan bahwasannya Tuberkulosis (TB) dan HIV saling berkaitan dan sering menghasilkan koinfeksi TB-HIV. TB merupakan penyebab kematian paling banyak pada pasien HIV, sementara WHO memprediksi bahwa penyebab kematian orang dengan HIV/AIDS adalah Tuberkulosis sebesar 13% (Riadi, 2012). Semakin tinggi prevalensi HIV suatu daerah, semakin tinggi juga prevalensi koinfeksi HIV-TB pada daerah tersebut (Nasronudin, 2007). Infeksi oportunistik Tuberkulosis pada pasien HIV merupakan keadaan berbahaya yang dapat berdampak pada masing-masing penyakit mulai dari patogenesis, manifestasi klinis hingga pengobatannya. Risiko berkembangnya TB akan meningkat dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh.

Di antara pasien TB yang menerima pengobatan, angka kematian pasien TB dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan pada pasien TB dengan HIV negatif. Angka kematian lebih tinggi pada ODHA yang menderita TB dengan sputum negatif dan TB ekstra-paru karena umumnya kondisi pasien tersebut lebih imunokompresi dibandingkan dengan ODHA dengan sputum TB positif. Prioritas utama pada penderita dengan koinfeksi TB-HIV adalah memulai terapi TB, diikuti dengan kotrimoksazol dan ARV.

1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV
Bila penderita belum dalam pengobatan ARV, pengobatan TB dapat segera dimulai. Jika penderita dalam pengobatan TB maka teruskan pengobatan TB nya sampai dapat ditoleransi (2-4 minggu) dan setelah itu diberi pengobatan ARV. Keputusan untuk memulai pengobatan ARV pada penderita dengan pengobatan TB sebaiknya dilakukan oleh dokter yang telah mendapat pelatihan tata laksana penderita TB-HIV.

2. Pengobatan pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV
Bila penderita sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB dimulai minimal di RS yang petugasnya telah dilatih TB-HIV, untuk diatur rencana pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV. Hal ini penting karena ada kemungkinan masalah yang harus dipertimbangkan, antara lain interaksi obat (rifampisin dengan beberapa jenis obat ARV), gagal pengobatan ARV, IRIS atau perlu substitusi obat ARV.

Terapi OAT dan ARV pada Pasien Koinfeksi TB/HIV

Status HIV pada pasien TB tidak mempengaruhi pemilihan kategori OAT. Tatalaksana pasien TB dengan HIV sama dengan pasien TB lain karena keefektifan OAT pada ODHA sama dengan pada pasien TB umumnya. Pasien TB dengan HIV positif tetap diberi OAT dan ARV (antiretroviral) dengan mendahulukan OAT untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian. Pemberian OAT pada pasien TB paru (termasuk pasien ODHA) yang belum pernah mendapat pengobatan, dianjurkan menggunakan lini pertama selama 6 bulan, meliputi 2 bulan fase intensif menggunakan HRZE (isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol) diminum setiap hari dan 4 bulan fase lanjutan menggunakan HR (isoniazid dan rifampicin) tiga kali seminggu. Pada ODHA dengan TB ekstra paru (limfadenopati, TB abdomen, efusi pleura), OAT diberikan paling sedikit 9 bulan (2 bulan HRZE dan 7 bulan HR).

Terapi ARV diberikan untuk semua ODHA yang menderita TB tanpa memandang jumlah CD4. Pengobatan ARV perlu dimulai meskipun penderita sedang dalam pengobatan TB. Perlu diingat, pengobatan TB di Indonesia selalu mengandung rifampisin sehingga penderita dalam pengobatan TB dan mendapat pengobatan ARV bisa mengalami masalah interaksi obat dan efek samping obat yang serupa sehingga memperberat efek samping obat. Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis:

1. Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan TB aktif, berapa pun jumlah CD4.
2. Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi, secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.

Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi TB-HIV, potensi menurunkan transmisi bila semua penderita HIV memulai terapi ARV lebih cepat, dan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kekambuhan TB dan meningkatkan manajemen TB pada penderita ko-infeksi TB-HIV. Paduan obat yang ditetapkan oleh WHO untuk lini pertama adalah regimen yang mengandung dua Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) ditambah dengan satu Non Nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI). 2 NRTI + 1 NNRTI

Pada ko-infeksi TB-HIV NRTI terpilih yang direkomendasikan WHO adalah Zidovudine (AZT) atau tenofovir disoproxil fumarate (TDF), dikombinasi dengan lamivudine (3TC) atau emricitabine (FTC). Untuk NNRTI, WHO merekomendasikan efavirenz (EFV) atau nevirapine (NVP).

Tidak ada interaksi mayor antara rifampisin atau rifabutin dengan lamivudine, emricitabine, tenofovir, abcavir, zidovudine atau didanosine. Paduan tripel NRTI hanya diberikan bila ada kontraindikasi atau tidak dapat mentoleransi NNRTI atau terjadi toksisitas. Paduan triple NRTI yang dapat diberikan adalah: AZT+ 3TC +TDF akan tetapi paduan triple NRTI tersebut kurang poten dibanding dengan paduan berbasis NNRTI.

EFV merupakan pilihan utama dibandingkan NVP, karena penurunan kadar dalam darah akibat interaksi dengan rifampisin adalah lebih kecil dan efek hepatotoksik yang lebih ringan. Dosis standar EFV adalah 600 mg/ hari. Kadar NVP juga menurun bila diberikan bersama rifampisin. Namun dianjurkan pemberian NVP tetap dengan dosis standar. Tetapi karena kemungkinan terdapatnya efek hepatotoksik, paduan berisi NVP hanya digunakan bila tidak ada alternatif lain terutama pada perempuan yang mendapat paduan OAT yang mengandung rifampisin dengan jumlah CD4 > 250/mm. Pada keadaan TB terdiagnosis atau muncul dalam 6 bulan sejak memulai terapi ARV lini pertama maupun lini kedua, maka perlu mempertimbangkan substitusi obat ARV karena berkaitan dengan interaksi obat TB khususnya Rifampisin dengan NNRTI dan PI. Pada penderita HIV yang sedang dalam pengobatan ARV yang kemudian menderita TB maka pilihan paduan pengobatan ARV adalah sebagai berikut: Bila terapi TB sudah lengkap dapat dipertimbangkan kembali untuk mengganti paduan ARV ke NVP kembali.

Pengobatan pasien ODHA dengan TB perlu memperhatikan tumpang tindih (overlapping) efek samping obat (termasuk efek samping obat yang muncul karena infeksi lain seperti hepatitis), kemungkinan interaksi antar obat, sistem pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome atau IRIS) yang akan memperburuk kondisi pasien. Pada kondisi ini, beberapa obat harus dikurangi dosisnya atau bahkan dihentikan. Hal ini menyebabkan pengobatan menjadi lebih lama dan sering mengganggu kepatuhan minum obat.

TB dan HIV mempunyai hubungan yang sangat erat sejak semakin berkembangnya penyakit AIDS. Di seluruh dunia, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling umum pada individu dengan HIV positif, dan tetap menjadi penyebab kematian terbanyak pada penderita dengan AIDS. Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dm sesuai dengan rekomendasi. Pasien TB yang yang beresiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counselling Testing). Penting bagi kita untuk mengetahui tatalaksana dari HIV dan TB karena HIV dan TB saling berkaitan dan sering menghasilkan koinfeksi TB-HIV yaitu secara bersamaan seseorang menderita infeksi TB dan infeksi HIV. Oleh karena itu bagi penderita HIV mari laksanakan pengobatan secara rutin, dan bagi yang tidak menderita HIV mari kita menerapkan pola hidup sehat agar terhindar dari HIV dan TB.

Oleh :
Pembimbing : Dr. Ninuk Dian K, S.Kep., Ns., M.ANP
Kelompok 3 Kelas A3-2018 : Achmad Ferdynan T.I, Amalia Niswah Q.K, Amira Diniya R, Ardhiyeni Hesti O, Cindy Nanda G.M.P, Erlina Nurhayati, Fadhilah Anggraini, Nur ‘Aeni Maghfiroh, Nisa Anindya N, Nur Anita R, Realvan Margaret E, Wendi Genta P.

Sumber Referensi :

Ajmala, Indana Eva, Laksmi Wulandari. 2015. Terapi ARV pada Penderita Ko-Infeksi TB-HIV dalam Jurnal Respirasi. Vol 1, No 1

Abdillah, A., & Nusadewiarti, A. (2019). Penatalaksanaan Holistik Pada Pasien TBC Milier–HIV Seronegatif. Jurnal Medula, 9(3), 366-373.

Cahyawati, Fani. 2018. Tatalaksana TB pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). CDK-268/ vol. 45 no. 9

Mulyadi, M., & Fitrika, Y. (2010). Penatalaksanaan Tuberkulosis Pada Penderita HIV-AIDS. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 10(3), 169-178.

KemenKes RI. 2020. TB/HIV. Diakses online pada tanggal 16 November 2020 melalui https://tbindonesia.or.id/informasi/teknis/tb-hiv/

Pin It
Hits 33963

Berita Terbaru