INFORMASI TEST ELPT (KLIK DISINI)

Kepatuhan Pengobatan ARV untuk Menurunkan IO: PCP (Pneumocytis Pneumonia) pada ODHA

  • By
  • In Lihat
  • Posted 29 November 2020
×

Warning

JUser: :_load: Unable to load user with ID: 735

Infeksi oportunistik yang terjadi sebagai konsekuensi dari turunnya jumlah sel T CD4+ pada pasien yang terinfeksi HIV merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat. Salah satu infeksi opportunistik yang sering terjadi pada penderita HIV adalah PCP (Agustina, Efiyanti, Yunihastuti, Ujainah, & Rozaliyani, 2017). PCP (Pneumocystis carinii) diklasifikasikan sebagai jamur. PCP merupakan infeksi oportunistik tersering pada infeksi HIV/AIDS. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa dengan pemberian HAART (Highly Active Anti Retroviral Therapy) merupakan suatu perlindungan terhadap PCP sehingga menurunkan risiko terjadinya PCP. Cara penularan/transmisi pada manusia diduga melalui rute respirasi, dan reservoirnya diduga bersumber dari lingkungan atau manusia lainnya.

Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) disebabkan oleh jamur Pneumocystis jirovecii yang banyak ditemukan di lingkungan. Awalnya organisme ini dikenal dengan sebutan Pneumocystis carinii saat ini hanya ditujukan untuk pneumosistis yang menginfeksi binatang pengerat. Sedangkan jenis orgasnisme yang menginfeksi manusia diberi nama Pneumocystis jirovecii, walaupun untuk singkatannya masih digunakan istilah PCP seperti sebelumnya. Gejala penderita PCP terkait HIV berupa demam, batuk tidak berdahak dan sesak napas. Insiden PCP telah menurun signifikan sejak digunakannya profilaksis dan ART secara luas. Infeksi P. jiroveci terutama menyebar dari manusia ke manusia, walaupun mungkin terdapat sumber di lingkungan. Pencegahan paparan dapat diupayakan dengan mengisolasi pasien HIV yang rentan dari individu yang menderita PCP walaupun keefektifannya belum diketahui.

Mengapa penderita HIV dapat terserang PCP?

PCP merupakan salah satu infeksi opportunistik pada penderita HIV. Hal ini dapat terjadi karena sistem kekebalan tubuh pada penderita HIV sudah menurun sehingga penderita HIV sistem kekebalan tubuhnya tidak cukup kuat untuk menyerang penyakit. Akibatnya jamur yang menyebabkan penyakit PCP dapat dengan mudah masuk kedalam tubuh dan menyebabkan penyakit PCP (Pneumocystis carinii).

Bagaimana pengobatan bagi penderita ODHA dengan PCP?

Terapi antiretroviral (ART) adalah pengobatan yang ditujukan bagi Odha untuk menekan jumlah virus di dalam tubuhnya. ART diperlukan bagi ODHA dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah yang ditandai dengan penurunan limfosit total (CD 4) pada pemeriksaan darah. Obat antiretroviral (ARV) memang tidak dapat menyembuhkan infeksi HIV namun dapat menurunkan jumlah virus sehingga sistem kekebalan tubuh terlindungi dari kerusakan dan dapat pulih, ditandai dengan peningkatan jumlah sel CD 4 (Green, 2016). Pengobatan ART sebaiknya dimulai sebelum timbul infeksi oportunistik seperti PCP atau tokso. Namun, jika telah muncul infeksi pengobatan ART masih menjadi cara yang efektif untuk mencegah kemunculan infeksi lainnya.

Pengobatan ART menggunakan kombinasi 3 obat yang disebut dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Terapi ini mencakup dua jenis obat yaitu obat golongan NRTI (Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitor) dan NNRTI (Non- Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitor) atau golongan PI (Protease Inhibitor).

NRTI yang tersedia di Indonesia adalah AZT, 3TC, ddI dan d4T. Kombinasi dua apa pun dari obat ini dapat dipertimbangkan sebagai dasar ART, kecuali AZT + d4T—kedua obat ini tidak boleh digunakan bersamaan karena dapat menyebabkan neuropati perifer (kematian saraf tepi). Sedangkan, golongan obat NNRTI yang tersedia di Indonesia adalah nevirapine dan efavirenz.

Kombinasi dua NRTI dengan satu NNRTI merupakan cara yang utama. Namun, jika terdapat resistensi virus terhadap obat, dua obat dalam kombinasi di lini pertama perlu diganti dengan obat yang baru, disebut cara kedua. Obat pengganti yang dapat digunakan adalah tenofovir (golongan NRTI) dan Aluvia (golongan PI) dengan tetap menggunakan 3TC.

Pada minggu-minggu awal penggunaan obat ARV perlu diamati efek samping yang terjadi. Beberapa gejala yang timbul antara lain mual, sakit kepala, atau ruam (gatal-gatal) pada kulit. Keluhan tersebut biasanya ringan dan dapat menghilang dengan sendirinya namun, jika tidak menghilang atau semakin parah dapat melapor kepada dokter.

Aturan minum obat ARV adalah diminum dua kali sehari (tiap 12 jam), tiga kali sehari (tiap 8 jam), diminum setalh makan atau diminum saat perut kosong. Cara yang dapat dilakukan supaya penderita ODHA dapat mematuhi aturan minum ARV yaitu:

  1. Mempercayai seseorang untuk menjadi PMO (Pengawas minum obat) untuk menginatkan penderita supaya meminum obat pada waktu yang telah ditentukan
  2. Menambah informasi seputar HIV?AIDS dan cara pengobatannya supaya semakin banyak pengetahuan dan mengetahui keuntungan dari pengobatan ARV
  3. Menjadwalkan waktu minum obat, makan, dan istirahat.
  4. Pastikan ketersediaan obat cukup dan tidak sampai kehabisan. Jika ketersediaan obat hanya dapat digunakan selama satu minggu, penderita boleh menghubungi dokter secepatnya untuk meminta obat.
  5. Membawa persediaan obat selama bepergian dan meletakkan obat di tempat yang mudah terlihat secara rapi.
  6. Pastikan obat yang akan dikonsumsi tidka bereaksi dengan obat lainnya ynag menimbulkan respon negatif.

Pengaruh Pengobatan ARV pada Penderita PCP

Cara yang tepat untuk mencegah PCP adalah dengan memakai Antiretroviral Therapy. Saat ini, dengan tersedianya terapi antiretroviral (ARV), angka PCP menurun secara signifikan. Banyak kasus PCP yang terjadi pada pasien dikarenakan tidak mengetahui status HIV nya atau karena pasien tidak mengonsumsi ARV (Agustina, 2017). ARV dapat menahan jumlah CD4 dalam tubuh tetap tinggi. ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 dapat mencegah PCP dengan memakai obat yang sama digunakan untuk mengobati PCP. Jika jumlah CD4 melebihi 200 dan bertahan selama tiga bulan, maka dimungkinkan ODHA dapat berhenti memakai obat pencegah PCP tanpa risiko. Namun, karena pengobatan PCP adalah murah dan mempunyai efek samping yang ringan, beberapa peneliti mengusulkan pengobatan sebaiknya diteruskan hingga jumlah CD4 di atas 300 (Huang dkk, 2011).

Oleh:
Pembimbing: Dr. Ninuk Dian K., S.Kep.Ns., MANP.
Penulis: Kelompok 1 A2-2018

Referensi:
Agustina, D. R., Efiyanti, C., Yunihastuti, E., Ujainah, A., & Rozaliyani, A. (2017). Diagnosis dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)/Pneumocystis Jirovecii Pneumonia pada pasien HIV: Sebuah Laporan Kasus. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 4(4), 209. https://doi.org/10.7454/jpdi.v4i4.149

Green, C. W. (2016). Pengobatan Untuk AIDS : Ingin Mulai ? Pengobatan Untuk AIDS : Ingin Mulai ?

Huang, L., Cattamanchi, A., Davis, J. L., Den Boon, S., Kovacs, J., Meshnick, S., Miller, R. F., Walzer, P. D., Worodria, W., & Masur, H. (2011). Hiv-associated Pneumocystis pneumonia. Proceedings of the American Thoracic Society, 8(3), 294–300. https://doi.org/10.1513/pats.201009-062WR

Pin It
Hits 1856

Berita Terbaru